JAKARTA — Pemerintah pusat menempatkan Kabupaten Aceh Tamiang sebagai salah satu wilayah dengan tingkat dampak bencana paling serius akibat banjir dan longsor yang melanda sejumlah provinsi di Sumatra. Penilaian tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian setelah meninjau kondisi lapangan di Aceh Tamiang, Senin (22/12/2025).
Dalam kunjungannya, Mendagri menekankan bahwa situasi di Aceh Tamiang membutuhkan penanganan yang lebih intensif dibandingkan daerah terdampak lainnya. Ia menilai tingkat kerusakan dan kondisi lingkungan pascabencana masih sangat memprihatinkan, terutama terlihat dari sisa lumpur yang belum sepenuhnya tertangani.
“Aceh Tamiang memang saya lihat agak beda dari udara tadi masih banyak lumpur-lumpur, agak beda ketika saya datang ke tempat-tempat lain baik di Sumatra Barat,” ujar Mendagri dalam keterangannya.
Bencana hidrometeorologi yang dipicu curah hujan tinggi ini diketahui tidak hanya melanda Aceh, tetapi juga berdampak luas di Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Mendagri menjelaskan bahwa sejak awal kejadian, pemerintah pusat langsung mengaktifkan mekanisme respons nasional melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga.
Ia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan tegas agar seluruh unsur negara bergerak cepat dan terkoordinasi. Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, TNI, Polri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta berbagai pihak terkait lainnya ditugaskan memastikan keselamatan warga dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terdampak.
Dalam aspek logistik pangan, Mendagri memastikan bahwa cadangan beras nasional dalam kondisi aman dan mencukupi. Ia menegaskan tidak ada alasan bagi daerah terdampak untuk mengalami kekurangan pangan, karena cadangan beras Bulog dapat dikeluarkan tanpa pembatasan selama digunakan untuk penanganan bencana.
“Sepanjang untuk kepentingan bencana itu dapat dikeluarkan tanpa biaya. Ini bukan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) yang dijual murah, bukan, tanpa biaya, gratis berapa pun juga diminta asal bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Selain persoalan logistik, Mendagri juga menyoroti keterbatasan anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) yang dimiliki banyak pemerintah daerah terdampak. Untuk mengatasi kendala tersebut, pemerintah pusat telah mengambil langkah konkret dengan menambah dukungan pendanaan.
Presiden, kata Tito, memutuskan pemberian tambahan bantuan BTT sebesar Rp4 miliar untuk setiap kabupaten/kota terdampak, serta Rp20 miliar untuk masing-masing pemerintah provinsi. Tidak hanya itu, Mendagri juga mengoordinasikan solidaritas antardaerah yang hingga kini berhasil mengumpulkan hampir Rp60 miliar dan telah disalurkan langsung ke wilayah terdampak bencana.
Dalam penanganan darurat, Mendagri menekankan bahwa pembersihan lumpur harus menjadi prioritas utama. Fasilitas publik seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah, rumah ibadah, serta kantor pemerintahan harus segera dibersihkan agar aktivitas masyarakat dan layanan publik dapat kembali berjalan normal.
“Pembersihan ini nomor satu menurut saya, pembersihan ini dari lumpur-lumpur ini,” jelasnya.
Sementara itu, terkait kerusakan perumahan warga, Mendagri meminta pemerintah daerah segera melakukan pendataan secara detail dan akurat. Pendataan tersebut harus dilakukan by name dan by address, mencakup kategori rumah rusak ringan, rusak sedang, rusak berat, hingga rumah yang hilang.
Data tersebut nantinya akan menjadi dasar penyaluran bantuan langsung kepada masyarakat, sekaligus sebagai acuan pembangunan hunian sementara dan hunian tetap oleh pemerintah pusat melalui BNPB dan kementerian terkait. Mendagri menegaskan, kecepatan dan ketepatan data menjadi kunci agar bantuan dapat disalurkan secara adil dan tepat sasaran.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah berharap proses pemulihan di Aceh Tamiang dan wilayah terdampak lainnya dapat berjalan lebih cepat, terkoordinasi, dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. []
Diyan Febriana Citra.

