Aktivis di Kaltim menyuarakan gagasan kepada siapa pun sosok yang terpilih memimpin republik ini. Sang presiden baru periode 2014-2019 diminta bersikap tegas dengan meninggalkan eksploitasi tambang dan migas besar-besaran yang lebih banyak mendatangkan mudarat bagi negeri ini, termasuk di Benua Etam.
Koordinator Divisi Riset dan Pendidikan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Abdullah Naim mengatakan, dua koalisi yang dibentuk untuk mengusung calon presiden (capres) sekilas terkesan berlomba-lomba menawarkan program kedaulatan tambang dan energi. Namun, program itu tak lebih jargon pemanis kampanye belaka. Sebab, dalam kedua gerbong koalisi tersebut sangat kentara keterlibatan dan intervensi mafia tambang dan energi yang selama ini menjarah kekayaan alam Indonesia.
Dia menunjuk Aburizal “Ical” Bakrie sebagai orang yang bertanggung jawab dalam tragedi Lumpur Lapindo, namun saat ini masih leluasa berbisnis sekaligus bermain politik dengan ikut mengusung salah satu capres.
“Hingga saat ini masyarakat korban lumpur Lapindo masih berjuang memulihkan hak-haknya. Semburan lumpur telah menghilangkan akses terhadap pangan dan hak ekonomi masyarakat,” ucapnya, Jumat (30/5).
Naim melanjutkan, pada kenyataannya industri tambang dan migas adalah monster yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya di lingkaran tambang. Hilangnya ruang hidup masyarakat, kemiskinan, pelanggaran HAM, hancurnya fungsi-fungsi layanan alam, dan sarang yang nyaman bagi korupsi, adalah sekelumit gambaran nyata dari industri tersebut.
“Sayangnya industri ekstraktif kaya daya rusak ini malah diklaim sebagai modal pembangunan dan sumber devisa negara,” sebut Naim.
Menurut Naim, pertambangan hanya menjadikan laut Indonesia sebagai tong sampah untuk limbah tailing. Sebagaimana PT Newmont Nusa Tenggara –yang sejak 2002 telah diperpanjang kontraknya dari tahun 2011 hingga 2016– membuang limbah tailing sebanyak 54.020.000 ton setiap tahun.
“Pertambangan juga merusak pulau-pulau kecil indah, sebagaimana yang terjadi di Pulau Bangka (Sulawesi Utara), Pulau Bangka dan Belitung, Pulau Nipah, serta pulau-pulau kecil lainnya yang hancur,” paparnya.
Karut-marut pengelolaan tambang dan energi berandil besar pula dalam politik anggaran pemerintah. “Maka tidak heran sikap pesimistis pemerintah menetapkan rasio pajak sebesar 12,6 persen dari PDB mengakibatkan 27 persen belanja negara harus dibebankan kepada sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama empat tahun terakhir. Padahal, pada 2013 lalu, 50,2 persen PNBP diterima dari kegiatan eksploitasi tambang dan migas,” singgung dia.
Tren anggaran yang berulang setiap tahun ini mendorong eksploitasi tambang dan energi besar-besaran dengan dalih pengimbangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) –tentu saja dengan mengorbankan ruang hidup dan keselamatan warga.
Naim melanjutkan, para pengusaha tambang yang terlibat dan menjadi bagian dari politik, mendorong sumber daya alam tambang menjadi modal dalam perebutan dan mempertahankan kekuasaan politik.
“Jangan heran, kampanye pertambangan ramah lingkungan (green mining) atau berkelanjutan adalah siasat lama yang digunakan para politikus yang selama ini menikmati manfaat dari industri pertambangan, baik resmi maupun tidak resmi. Dengan kata lain, pengurusan industri tambang hingga saat ini merupakan mesin uang politik penghancur kehidupan,” sebut dia.
Karenanya, pinta Naim, pemimpin Indonesia ke depan harus berani mengambil langkah tegas untuk membersihkan pemerintahan yang korup –baik dalam kabinet maupun lembaga negara lainnya– dari keterlibatan dan intervensi mafia tambang dan energi.
“Tentu hal ini yang utama dilakukan, mengingat keharusan untuk mengambil langkah inovatif meninggalkan pengerukan tambang dan migas sebagai pilar pembangunan dan ekonomi,” terangnya.
Pemerintah ke depan juga harus berani melekatkan negara maritim dan Agraris sebagai identitas bangsa. “Industri tambang dan energi adalah industri yang tidak berkelanjutan, sementara sebagian besar rakyat Indonesia bertumpu pada sektor yang sumbernya tidak pernah habis,” ujar Naim.
Dalam tata kelola produksi dan konsumsi energi pun pemerintah juga harus mengambil lompatan inovatif untuk mengurangi dan menghentikan kecanduan akan energi fosil.
“Pemerintah tidak seharusnya memandang sektor energi sebagai komoditas bisnis semata. Sumber energi adalah aset bagi produktivitas rakyat, maka dari itu, rakyat harus mendapatkan akses yang lebih luas dan terbuka sebagai jaminan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” papar dia. [] RedFj/KP