Jumlah Perkara PA di Mempawah Mencapai 1.003 Kasus

Jumlah Perkara PA di Mempawah Mencapai 1.003 Kasus

PA_Mempawah
MEMPAWAH – Hingga kini jumlah perkara di Pengadilan Agama (PA) Mempawah telah menembus angka empat digit atau seribu dan jumlah ini baru pertama kalinya terjadi sejak lembaga tersebut berdiri pada tahun 1986.
“Hari Jumat yang lalu perkara mencapai angka 998. Hari ini ada 5 pendaftaran perkara sehingga jumlah perkara yang diterima selama tahun ini hingga tanggal 12 Oktober 2015 mencapai 1.003,” kata staf Meja I yang bertugas menerima perkara, Suriadi.
Dijelaskannya, perkara yang paling banyak diterima PA Mempawah hingga saat ini adalah perceraian, yaitu 623 perkara (62,1 %). Dari jumlah itu, 474 perkara diajukan oleh istri (cerai gugat) dan 149 perkara diajukan oleh suami (cerai talak).
Perkara lain yang meningkat, lanjutnya, adalah itsbat nikah atau pengesahan perkawinan. Pada tahun 2013 berjumlah 56 perkara, tahun 2014 berjumlah 132 perkara, dan tahun ini baru sembilan bulan setengah saja sudah menembus angka 290.
“Di bawahnya lagi ada dispensasi nikah 39 perkara, warisan 19 perkara, harta bersama 12 perkara, perwalian 8 perkara, asal usul anak 7 perkara, hak asuh anak 2, serta izin
poligami, pembatalan nikah dan wali adhal masing-masing 1 perkara,” katanya.
Suriadi menambahkan, dari jumlah perkara yang sudah diterima hingga tanggal Oktober 2015, kenaikannya cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2013, PA Mempawah menerima 692 perkara dan tahun 2014 menerima 819 perkara.
Salah seorang hakim PA Mempawah, Fahrurrozi Zawawi saat dimintai keterangan terkait naiknya perkara, mengatakan bahwa hal itu menunjukkan naiknya kesadaran hukum masyarakat.
“Ketika PA Mempawah berdiri pertama kali tahun 1986, perkara yang diterima cuma 18 saja. Nah, sekarang setelah 29 tahun jumlah perkaranya melampaui seribu, berarti sudah mulai muncul kesadaran hukum. Dulu, ketika orang mempunyai masalah hukum, tidak tahu harus ke mana menyelesaikannya,” katanya.
Fahrurrozi mencontohkan, bahwa dulu anak-anak yang ditolak untuk menikah di KUA, mereka tidak mau ambil pusing, langsung menikah di bawah tangan. Namun, sekarang mereka tahu bagaimana solusinya. Yaitu, mengajukan perkara permohonan dispensasi kawin ke pengadilan agama. Demikian juga, pasangan suami istri yang tidak memiliki akta nikah sekarang sudah mulai tahu bahwa untuk mengesahkan perkawinan harus ke pengadilan agama.
Menurut hakim yang juga mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura itu, kenaikan perkara juga sebagai bukti adanya peningkatan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan. Masyarakat percaya bahwa pengadilan dapat memberikan apa yang dicarinya, yaitu keadilan. Karena jika masyarakat kecewa dan tidak puas, tentulah mereka tidak mau lagi berurusan dengan pengadilan. [] ANT
Serba-Serbi