Teror Limbah PT Kalimantan Powerindo

Teror Limbah PT Kalimantan Powerindo

Dua bocah jadi korban limbah berbahaya. Seonggok pasir kuning yang mereka lompati membuat celaka, kulit terbakar hingga stadium dua.

PLTU

PT Kalimantan Powerindo (KP) merupakan anak perusahaan PT Sumalindo Lestari Jaya Tbk, perusahaan yang core bisnisnya bergerak di bidang penyediaan tenaga listrik. Di perbatasan Desa Senoni dan Sanggulan, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) PT KP punya satu pembangkit listrik bertenaga uap (PLTU) berkapasitas 15 Mega Watt yang bahan bakunya batu bara.

Keberadaan PLTU milik KP ini sebenarnya sangat membantu, terutama bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Sayangnya, pengelolaan PLTU, terutama limbah, tidak dilakukan dengan baik, sehingga justru menjadi teror bagi masyarakat sekitar.

Belum lama ini, dua orang bocah menjadi korbannya. Meski tak sampai membuat nyawa melayang, tapi kulit kaki dan tangan kedua korban terbakar hingga stadium dua. Hampir sebulan lamanya mereka dirawat di Rumah Sakit

Dua bocah itu bernama Ahmad Riyadi dan Fito Ardiyanto. Keduanya masih berumur 11 tahun, tinggal di Desa Sanggulan. Hingga pertengahan September (16/9/2015) lalu, Riyadi dan Fito dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aji Muhammad Parikesit (AMP). Menurut pihak rumah sakit, korban mengalami luka bakar karena terkena uap panas.

Ditemui sejumlah awak media di tempatnya dirawat, Riyadi mengungkapkan, kejadiannya 31 Agustus 2015 lalu, sekitar pukul 10.00 Wita. Saat itu ia bersama Fito ingin membeli gasing. Saat melintasi lokasi pembangkit PT KP, mereka menjumpai gundukan pasir kuning. Mereka lalu bermain.

“Ada tumpukan pasir kuning, saya dan Fito langsung loncat untuk bermain, namun tiba-tiba kaki dan tangan saya terasa panas seperti terbakar api,” ungkap Riyadi didampingi neneknya Marlika kepada wartawan, dengan bahasa daerahnya yang kental.

Marlika menambahkan, Riyadi yang duduk di kelas VI Sekolah Dasar 009 Sanggulan. Saat ditemui, cucunya sudah dirawat selama 20 hari dan sudah menjalani empat kali operasi kulit.

Lalu adakah pihak perusahaan bertanggung jawab? Menurut Marlika, perusahaan seakan lepas tangan. Awalnya ada perwakilan perusahaan yang datang memberikan uang tali asih sebesar Rp1 juta dan berjanji akan kembali datang, namun tak pernah muncul.

Seorang korban, Riyadi saat dirawat di RSUD AM Parikesit.
Seorang korban, Riyadi saat dirawat di RSUD AM Parikesit.

“Sampai saat ini, saya dan ibu Fito, sudah keluar uang Rp5 juta. Kami juga terus berkomunikasi dengan pihak perusahaan, namun selalu dijanjikan,” katanya.

Sementara Saibe, Kepala Desa Sanggulan, saat ditemui di tempat yang sama mengatakan, pihak perusahaan memang telah memberikan uang tali asih kepada korban sebesar Rp 1 juta per orang. Selebihnya, pihak keluarga diminta menanggung sendiri.

“Saya tidak mengetahui jelas lagi permasalahan tersebut, namun yang pastinya itu sudah kita tangani. Sepengetahuan saya, kedua korban tersebut sudah keluar dari rumah sakit, mengingat sudah sekitar 20 hari kejadianya,” katanya.

Mengetahui ada peristiwa itu, Wakil Ketua DPRD Kukar Rudiansyah menjenguk dua bocah tersebut, Kamis (17/9). Saat dijenguk wakil rakyat dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindera) ini, korban masih tampak lemas.

“Setelah melihat seperti itu, selayaknya perusahaan bertanggung jawab penuh. Mengingat laporan rumah sakit, kedua korban mengalami luka bakar stadium dua dengan luas luka bakar 20 persen. Berarti ini sangat membahayakan,” kata Rudi.

Dia juga meminta Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) melakukan penyelidikan, untuk mengetahui apakah ada pengelolaan limbah yang tidak ditangani sesuai aturan. Jika memang tidak sesuai, akan ditindak lanjuti izinnya. “Apapun ungkapan pihak perusahaan, yang kita inginkan aturan bisa ditegakkan. Ini kejadian yang luar biasa dan harus segera diatasi bersama,” tegasnya.

Sementara Saiful Bahri, Ketua Lembaga Advokasi Lingkungan (Ladink) Kukar, turut menyesalkan terjadinya peristiwa itu. Ia mengatakan, jika benar penyebab timbulnya luka bakar itu adalah pasir kuning, kemungkinan besar itu adalah abu hasil pembakaran batu bara yang menjadi bahan bakar PLTU.

“Itu abu hasil pembakaran batu bara, yang butirannya kasar disebut bottom ash atau abu dasar, yang halus fly ash  atau abu terbang. Berwarna kuning karena batu bara dasarnya memang berwarna kuning, biasanya kalori rendah.

Dikatakannya, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor  85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah, disebutkan bahwa abu terbang dan abu dasar termasuk sebagai limbah B3. Menurut aturan itu, yang dimaksud limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau  beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusakkan lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk.

“Memang ada penelitian yang menyebutkan bahwa abu hasil pembakaran batu bara ini tidak beracun, tetapi tentu tetap membahayakan,” katanya.

Melihat peristiwa yang dialami Fito dan Riyadi, menurut Saiful, abu yang membuat keduanya terbakar, kemungkinan baru saja dikeluarkan dari boiler atau tungku pembakaran batu bara, sehingga masih berupa bara dan uapnya sangat panas. “Kalau sudah dingin, sebenarnya tidak bermasalah. Saya kira, itu baru, jadi uap panasnya masih ada dan membakar kulit korban,” kata Saiful.

Untuk membakar batu bara menjadi uap, menurut dia, bila menggunakan teknologi lapisan mengambang, dibutuhkan suhu antara 1.400 sampai 1.500 derajat. “Pembakaran batu bara menjadi uap ini menggunakan suhu yang sangat tinggi, bisa sampai 1.500 derajat,” kata Saiful.

Karena itu, sudah seharusnya abu hasil pembakaran batu bara, tidak ditumpuk sembarangan. “Meskipun di wilayah perusahaan, tetapi kalau terbuka dan tidak ada tanda larangan atau tidak ada yang menjaga dan mengawasi, ini sama saja kelalaian pihak perusahaan,” paparnya.

Pengelolaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT KP, lanjut dia, patut dipertanyakan. “Kita tidak tahu, sudah berapa banyak kasus seperti ini. Kalau pengelolaan limbahnya serampangan, bisa jadi kasus yang terkuak ini hanya fenomena gunung es,” tandas Saiful. []

Headlines