Keluh Kesah Jokowi, Masalah CAD Tak Bisa Diselesaikan Selama Bertahun-tahun

Keluh Kesah Jokowi, Masalah CAD Tak Bisa Diselesaikan Selama Bertahun-tahun

 

Sejumlah kebutuhan pokok seperti beras, Indonesia masih impor secara masif. Tahun ini disebut sebut makin besar. Dari Thailand dan Vietnam saja mencapai 500 ribu ton. Foto: Ilustrasi

JAKARTA – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo berkeluh kesah soal masalah ekonomi negeri yang tak bisa diselesaikannya selama bertahun-tahun. Masalah itu adalah defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang membengkak.

Hal itu diutarakan Jokowi dalam pembukaan Trade Expo Indonesia sebagaimana dirilis CNN kb. “Kita memiliki masalah yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan, yaitu neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan (CAD),” ujar Jokowi di ICE BSD, Rabu (24/10/2018).

“Tahun 2017 CAD kita tercatat US$ 17,3 miliar. Sebuah angka yang besar, neraca dagang kita harus kita perbaiki dengan cara apa, ya ekspor harus lebih besar dari impor,” ungkap Jokowi.

Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, tidak hanya di tahun 2017, tapi di tahun ini CAD malah lebih parah lagi. Per kuartal II-2018 saja, CAD sudah melebar hingga US$ 8,03 miliar atau sekitar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai itu meningkat nyaris 2 kali lipat dari periode yang sama di tahun 2017, sekaligus menjadi yang terburuk sejak 2014 silam.

Bagaimana bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga? Secara nominal, transaksi berjalan di Indonesia ternyata merupakan salah satu yang terburuk di Asia Tenggara.

Di kuartal II tahun ini, transaksi berjalan Malaysia masih membukukan surplus hingga kisaran US$ 935 juta. Begitupun dengan Thailand yang surplusnya bahkan lebih besar lagi, yakni mencapai US$ 6,4 miliar di periode yang sama.

Bahkan, Vietnam pun masih mencatatkan surplus transaksi berjalan hingga US$ 4,3 miliar pada kuartal II-2018. Paling-paling hanya Filipina yang membukukan defisit di kuartal II tahun ini, itupun masih lebih ringan dari Indonesia, yakni sebesar US$ 2,93 miliar.

Dengan posisi ini, jelas menjadi wajar bahwa Jokowi resah terhadap kondisi perekonomian dalam negeri. Membengkaknya CAD, berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah yang sejak awal tahun 2018 ini telah melemah nyaris 12%. Nilai rupiah jatuh dari Rp 13.200/US$ ke level Rp 15.200/US$.

Ekspor Impor Jomplang

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.

Sayang, sejak tahun 2011, Indonesia tidak pernah menikmati surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Pada tahun inipun kondisi itu semakin akut.

Dari sisi perdagangan barang, defisit perdagangan barang sudah mencapai US$ 3,81 miliar di periode Januari-September 2018 ini. Padahal, di periode yang sama tahun lalu masih surplus sekitar US$11 miliar.

Apabila ditelusuri, hal itu disebabkan oleh nilai ekspor RI yang hanya tumbuh di kisaran 9,5% saja secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor tumbuh nyaris 25% YoY. Saat impor makin rajin, namun ekspor cenderung lesu, konsekuensinya defisit perdagangan pun melebar.

Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan arus devisa dari perdagangan barang dan jasa. Devisa dari sisi ini dianggap lebih mumpuni, lebih mampu menopang nilai tukar dalam jangka panjang karena tidak mudah keluar-masuk seperti portofolio di sektor keuangan.

Sayang, sejak tahun 2011, Indonesia tidak pernah menikmati surplus di neraca ini. Artinya, devisa dari sisi ekspor barang dan jasa lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Pada tahun inipun kondisi itu semakin akut.

Dari sisi perdagangan barang, defisit perdagangan barang sudah mencapai US$ 3,81 miliar di periode Januari-September 2018 ini. Padahal, di periode yang sama tahun lalu masih surplus sekitar US$11 miliar.

Apabila ditelusuri, hal itu disebabkan oleh nilai ekspor RI yang hanya tumbuh di kisaran 9,5% saja secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor tumbuh nyaris 25% YoY. Saat impor makin rajin, namun ekspor cenderung lesu, konsekuensinya defisit perdagangan pun melebar.

Lantas, mengapa bisa begitu? Tidak usah jauh-jauh mencari jawabannya hingga ke negeri China. Kuncinya ada di deindustrialisasi yang sedang dialami oleh Indonesia. Adanya deindustrialisasi dapat dilihat dari kontribusi industri pengolahan yang semakin menurun dalam pembentukan PDB di Indonesia.

Sejak tahun 2008, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB terus menurun drastis hingga menyentuh angka 20,16% pada tahun 2017. Padahal pada tahun 2002, industri pengolahan mampu menyumbang 31,95% dari PDB nasional.

Situasi tersebut nampaknya masih berlanjut di tahun ini. Per kuartal II-2018, kontribusi industri pengolahan hanya sebesar 20,97%, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 21,23%.

Akibat mengidap penyakit deindustrialisasi, barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas, impor pun selalu naik tajam.

Tidak hanya dipandang dari segi penyediaan bahan baku dan barang modal, lemahnya industri juga berkontribusi bagi rendahnya nilai tambah produk ekspor Indonesia. Selama ini, Indonesia masih bergantung pada ekspor komoditas. Alhasil, saat harga komoditas ekspor unggulan anjlok, ekspor RI pun ikut amblas.

Hal ini juga nampaknya terjadi saat ini. Seperti diketahui, harga komoditas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tercatat menurun 13% lebih di sepanjang tahun ini. Padahal, komoditas ini menyumbang nyaris 11% dari total ekspor Indonesia.

Lebih parah harga CPO, harga karet (komoditas ekspor unggulan RI lainnya) juga terkoreksi nyaris 30% di tahun ini. Belum lagi melihat komoditas tambang unggulan Indonesia, seperti harga nikel yang terkoreksi 2,03% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), tembaga (-16,22% YTD), aluminium (-11,3% YTD), dan timah (-3,96% YTD).

Paling hanya harga batu bara saja yang masih membukukan kenaikan, itupun tidak banyak-banyak, hanya di kisaran 8,6%. Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia di kuartal lalu pun cenderung terbatas. Neraca perdagangan barang pun tak tertolong.

Pedang Bermata Dua

Apabila melihat konfigurasi transaksi berjalan, sebenarnya defisit neraca perdagangan bukanlah satu-satunya penyumbang CAD. Perlu dicatat bahwa defisit pendapatan primer juga mencapai US$ 8,15 miliar pada kuartal II-2018, bahkan lebih besar dari CAD secara keseluruhan.

Sebagai informasi, transaksi pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja dan pendapatan investasi dari investasi langsung, investasi portofolio, dan investasi lainnya.

Selama ini, penyumbang terbesar defisit pendapatan primer adalah pembayaran hasil keuntungan penanaman modal asing langsung, yang akhirnya kembali ke negara asal.

Presiden Jokowi memang terkenal sebagai salah satu kepala negara yang paling rajin mengundang penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia. Dalam masa kepemimpinannya, nominal PMA pun terus tumbuh dengan cepat. Pada tahun 2017, PMA mencapai Rp 436,78 triliun, naik 40% lebih dari akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Giatnya Jokowi mengundang investor asing ini lantas menjadi pedang bermata dua. Meski positif untuk pertumbuhan ekonomi nasional, namun semakin besarnya pembayaran hasil investasi ke luar negeri justru membebani defisit pendapatan primer.

Sebenarnya, apabila PMA mampu menghasilkan produk berorientasi ekspor, maka nilai ekspor pun otomatis akan terkerek naik. Alhasil, CAD pun tidak akan separah sekarang, karena naiknya nilai ekspor tentu akan mengompensasi besarnya defisit pendapatan primer.

Namun, melihat defisit neraca perdagangan yang semakin buruk, nampaknya PMA yang ada sejauh ini belum terlalu berkualitas. PMA yang ada belum mampu mendongkrak performa ekspor tanah air.

Selain dari investasi langsung, besarnya defisit pendapatan primer juga disumbangkan oleh pembayaran bunga utang obligasi pemerintah, di mana investor asing menguasai nyaris 40% dari Surat Berharga Negara (SBN).

Dengan kata lain, semakin banyak pemerintah menerbitkan surat utang, maka CAD akan semakin buruk pula. Oleh karena itu, idealnya pendanaan yang berbasis domestik perlu ditingkatkan, baik berupa pajak maupun penerbitan obligasi dalam rupiah.

Sayangnya, rasio pajak (tax ratio) justru terus menurun. Data dari nota keuangan per 2017, Tax Ratio hanya sebesar 10,7% atau terendah dalam kepemimpinan Presiden Jokowi.

Tax Ratio atau sering disebut juga dengan rasio pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan formula untuk mengukur kinerja perpajakan dengan membandingkan antara penerimaan perpajakan dan PDB dalam kurun waktu tertentu.

Semakin rendah Tax Ratio, maka semakin rendah pula kepatuhan wajib pajak dalam negeri. Selain itu, kemampuan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan pajak dari berbagai sektor ekonomi juga belum terlalu optimal.

Akibatnya, pemerintah dipaksa terus menerus menerbitkan surat utang untuk menutup defisit kas keuangan negara. Ujung-ujungnya, CAD lah yang harus menanggung bebannya.

Penulis: Dedi Irawan
Editorg: Saiful Bahri
Breaking News Nasional