JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) mengaku telah memiliki teknologi yang bisa merekam data media sosial Wajib Pajak (WP), dan menyandingkannya dengan kepemilikan saham dan data perpajakan seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi menyebutkan teknologi itu bernama Social Network Analytics (Soneta) dan sudah diperkenalkan sejak tahun lalu.
Hanya saja, saat ini teknologi tersebut digunakan di dalam internal Ditjen Pajak saja. Sebab menurutnya, ada beberapa pertimbangan yang dilakukan sebelum aplikasi itu bisa digunakan untuk menggali data WP lewat media sosial.
“Penggalian potensi dari media sosial secara tersistem dan masif belum dilakukan karena kami harus sangat hati-hati dengan pertimbangan integritas data dan manajemen data,” ujar Iwan kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Iwan juga mengaku belum tahu waktu yang tepat untuk bisa menggunakan teknologi tersebut secara luas. Sebab, DJP masih perlu melakukan perbaikan aplikasi Soneta di dalam penggunaan internal DJP.
Terlebih, menurutnya, data media sosial yang dihimpun Ditjen Pajak harus dianalisis, dikoreksi, dan diformat lagi ke dalam data kualitas tinggi agar hasilnya lebih akurat. Proses ini diberi nama data cleansing.
“Semua harus dilakukan secara hati-hati. Jangan sampai malah timbul keresahan gara-gara data yang tidak akurat,” pungkasnya.
Sampai saat ini, DJP telah menggali data WP melalui media sosial. Hanya saja, cara itu masih dilakukan secara manual dan belum memanfaatkan teknologi informasi.
Iwan mengatakan sejauh ini penggalian data WP melalui media sosial baru dilakukan oleh fiskus pajak, atau lebih dikenal dengan Account Representatives (AR).
Para fiskus ini berinisiatif menggali informasi dari media sosial dan mencocokkan dengan pelaporan pajaknya. Dengan demikian, kriteria-kriteria pengguna media sosial yang bisa dilacak DJP ditentukan oleh fiskus bersangkutan.
“Memang masih dilakukan oleh AR, karena AR bisa mencari data dari mana saja, termasuk media sosial,” jelas Iwan
LANGGAR PRIVASI
Sejumlah ekonom menilai penerapan teknologi yang bisa mengakses data WP melalui media sosial oleh Ditjen Pajak Kemenkeu akan membuat masyarakat ketakutan.
Saat ini, DJP sudah bisa melakukan pendataan WP melalui platform media sosial. Namun, perekaman data masih dilakukan secara manual. Teknologi canggih bernama Soneta baru digunakan untuk internal Ditjen Pajak.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto menyebut DJP perlu merancang skenario yang ciamik dalam mengkomunikasikan sistem ini kepada masyarakat. Sebab, pelacakan data pribadi dianggap sensitif.
“Kalau pengguna media sosial takut nanti justru bisa jadi bumerang,” terang Eko sebagaimana dilansir CNN.
Bukan meraup kenaikan pendapatan pajak, malah justru pengguna media sosial mengurangi jumlah unduhannya. Hal ini khususnya berlaku untuk pemilik toko daring.
“Bisa-bisa orang jadi menghindari media sosial, yang biasa jualan jilbab atau juga makanan misalnya bisa saja jadi beralih,” papar Eko.
Maka itu, Eko menyarankan kepada pemerintah untuk mengkaji lagi tujuan dari teknologi pelacakan data melalui media sosial ini. Bila hanya bertujuan untuk sosialisasi kepada kaum milenial, mungkin dampaknya bisa jadi positif.
“Tapi kalau berharap penambahan penerimaan dari pelacakan media sosial, saya rasa kan pengguna media sosial juga banyaknya anak muda atau yang kuliah,” jelas Eko.
Dengan kata lain, tambah Eko, pengguna media sosial sebenarnya mayoritas bukan WP yang pembayaran pajak tahunannya bisa ditarik.
“Itu harus jadi pertimbangan apakah cari banyak pajak atau bangun kepatuhan saja dengan sosialisasi ke anak muda,” pungkas Eko.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan mayoritas orang tidak memiliki niat besar membayar pajak kalau tidak ada paksaan dari pemerintah, apalagi untuk anak muda. Namun, upaya DJP mengakses data via media sosial perlu dilakukan untuk menaikkan kepatuhan pajak di Indonesia.
“Orang kalau bisa menghindar ya menghindar. Tapi kan kalau tidak bayar pajak, nanti pemerintah bisa dapat pendapatan dari mana, kalau utang terus nanti diprotes,” tutur Lana, Jumat (4/1).
Terlebih, kini semakin banyak masyarakat yang berbisnis melalui toko daring (online shop), misalnya dengan instagram, facebook, dan twitter. Dengan demikian, media sosial saat ini sudah menjadi ladang usaha, khususnya bagi kaum milenial.
“Tapi mungkin ini hanya awal perlawanan saja, karena kalau dipikir-pikir jika bisnisnya bagus dia pasti mau bayar pajak,” kata Lana.
Meski media sosial jadi sumber potensi bisnis, namun ia menyebut potensi penambahan penerimaan pajak melalui teknologi pelacak di media sosial tak akan signifikan.
“Orang kalau banyak pesanan dari media sosial itu, misalnya di instagram nah pengguna tidak akan lari dari sana,” tandas Lana.
Sebelumnya, Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan kegiatan pelacakan pajak melalui media sosial saat ini masih dilakukan oleh fiskus pajak atau Account Representatives (AR).
Para AR tersebut berinisiatif menggali informasi dari media sosial dan mencocokkannya dengan pelaporan pajaknya. Dengan demikian, kriteria-kriteria pengguna media sosial yang bisa dilacak DJP ditentukan oleh AR bersangkutan. []