JAKARTA – Terparah dan terburuk dalam sejarah negeri ini, Neraca Perdagangan Republik Indonesia sepanjang tahun 2018 lalu mengalami defisit yang nilainya sangat tinggi hingga memecahkan rekor sepanjang sejarah, yakni capai 8,57 miliar Dolar Amerika Serikat.
Angka ini merosot tajam dibandingkan neraca dagang tahun sebelumnya. Pada 2017 lalu, neraca dagang Indonesia justru mengalami surplus 11,84 miliar dollar AS. “Penyebab defisit 2018 lebih karena defisit migas 12,4 miliar dollar AS. Sementara itu untuk nonmigas, kita masih surplus 3,84 milliar dollar AS,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto di Jakarta, sebagaimana dilansir Kompas, Selasa (15/1/2019).
Sebelum 2018, berdasarkan data yang dimiliki BPS, defisit neraca dagang Indonesia terjadi pada 1975 sebesar 391 juta dollar AS dan pada 2012 sebesar 1,7 miliar dollar AS. Selanjutnya, pada 2013 terjadi defisit neraca perdagangan sebesar 4,08 miliar dollar AS dan pada 2014 defisit mencapai 2,20 miliar dollar AS.
Suhariyanto mengatakan, defisit neraca dagang selama 2018 merupakan pekerjaan rumah pemerintah. Ini terutama untuk meningatkan ekspor dan di sisi lain menahan impor.
Sementara ekonom Faisal Basri menilai defisit neraca dagang Indonesia yang mencapai 7,5 miliar dollar AS hingga November 2018 merupakan hal yang serius. Menurut Faisal, defisit neraca dagang yang mencapai 7,5 miliar dollar AS saat itu merupakan sejarah baru dalam perjalanan panjang neraca dagang Indonesia.
“Tidak pernah Indonesia setelah merdeka itu defisit perdagangan barangnya sampai 7,5 miliar dollar AS, tidak pernah. Jadi Ini sejarah baru sejak tahun 1945,” kata dia. Kini ternyata defisit necara dagang RI mencapai 8,57 miliar dollar AS. Lebih besar dari November lalu yang mencapai 7,5 miliar dollar AS
Sementara menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Bima Yudhistira, defisit besar itu terjadi akibat pemerintah lambat melakukan respon. “Masalah utama spesifik bulan November ada di kinerja ekspor yang lemah,” ujarnya, Jakarta, Senin (17/12/2018).
Bima mengatakan, ekspor produk unggulan utama RI, minyak sawit, melanjutkan penurunan hingga -9,83 persen dibanding bulan sebelumnya. Di sisi lain harga minyak sawit memang turun lantaran over supply. Selain itu, ekspor sawit juga turun akibat adanya hambatan dari sejumlah negara. Salah satunya oleh India. Akibatnya, total ekspor ke India bulan November 2018 turun -14,65 persen.
Hal ini disebabkan lantaran Perdana Menteri India Narendra Modi menjual isu proteksi dagang sawit ke petani minyak nabati jelang Pemilu 2018. Sementara itu, Amerika Serikat dan China menurunkan permintaan ekspor bahan baku industrinya jelang akhir tahun. Akibatnya ekspor ke AS anjlok -5,04 persen dan China -7,1 persen. Faktor perang dagang juga mulai dirasakan ke kinerja ekspor Indonesia.
Oleh karena itu Bima menilai pemerintah telat menangani hambatan dagang tersebut, terutama soal sawit di pasar internasional. “Seharusnya ketika ada sinyal Eropa dan India naikan hambatan dagang, kita langsung switch ke pasar non-tradisional atau coba melobi otoritas negara mitra dagang utama. Penangangan yang terlambat akhirnya blunder bagi ekspor,” kata dia.
Sementara dari sisi impor, permintaan juga ikut naik. Akibatnya defisit kian melebar pada November 2018 lalu. Bima memperkirakan, tren defisit perdagangan akan berlanjut hingga Desember 2018 dengan total defisit 9 miliar dollar AS. []