PARLEMENTARIA DPRD KALTIM – Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Nidya Listiyono meminta agar para nelayan Desa Semangko, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, harus memahami kondisi bagan apung miliki mereka yang posisinya membahayakan pipa PT Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT).
Namun Politisi dari Partai Golongan Karya (Golkar) ini juga meminta agar manajemen PHKT juga harus memaklumi permintaan ganti rugi para nelayan yang bagan apungnya harus dibongkar. “Ini masalah kebijakan, nelayan harus memahami dan PHKT juga harus memaklumi. Kami coba memfasilitasi agar sama-sama win (diperoleh solusi yang tidak memberatkan kedua belah pihak, red),” ujar anggota legislatif yang akrab disapa Tiyo ini kepada awak media.
Nidya Listiyono menyampaikan hal tersebut usai memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) melibatkan Komisi I, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kaltim, perwakilan PHKT, dan sejumlah nelayan dari Desa Semako. RDP diselenggarakan di Gedung D Lantai 3 Kompleks Perkantoran DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Senin siang (05/09/2022). Selain Tiyo, RDP tersebut dihadiri Ismail, anggota DPRD Kaltim dari Komisi II dan M. Udin dan Marthinus dari Komisi I. Dari DKP Kaltim, Irhan Hukmaidy, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala DKP Kaltim juga tampak hadir.
Diungkapkan Tiyo, RDP tersebut dalam rangka menindaklanjuti permintaan mediasi penyelesaian masalah nelayan dari Desa Semangko dan PHKT. Nelayan memiliki tiga unit bahan apung yang menurut pihak PHKT berada berdekatan dan bahkan berada di atas pipa minyak dan gas PHKT. “Lokasinya membahayakan dan berada di jalur laut, jalur hilir mudiknya kapal, sehingga diminta dibongkar, (bagan apung, red) tidak bisa dibangun di situ,” tutur politisi dari Daerah Pemilihan Kota Balikpapan ini.
Berdasarkan surat yang diterima pihak Komisi II, lanjut Tiyo, perselisihan seputar keberadaan bagan apung itu telah difasilitasi pihak Pemerintah Desa dan Pemerintah Kecamatan, namun belum ada titik temu. Pihak nelayan meminta ganti rugi sebesar Rp40 juta, sementara PHKT hanya bisa memberikan Rp10 juta, itu bentuknya bukan ganti rugi, melainkan tali asih.
Dalam rapat tersebut, Ketua Komisi II baru mengetahui juga bahwa permintaan ganti rugi yang disampaikan nelayan baru berupa permintaan lisan, tidak secara tertulis. Selain itu, dalam musyawarah yang difasilitasi di tingkat desa dan kecamatan, tidak dibuat notula. “Faktanya permohonan disampaikan secara lisan, tidak ada notulensi pada saat rapat rapat sebelumnya, sehingga kami sulit mendeteksi permasalahan,” ungkap Tiyo.
Namun dalam RDP yang berlangsung hampir tiga jam itu, pihak nelayan sepakat untuk mengajukan permohonan tali asih secara tertulis kepada PHKT. Sedangkan perwakilan PHKT yang hadir, berjanji akan menindaklanjuti permohonan tersebut dengan segera. “Kesepakatannya segera diajukan dan Pertamina segera menindaklanjuti, untuk angkanya berapa belum diketahui, karena hadir tidak memiliki kewenangan menentukan angka, pihak pusat yang memberikan persetujuan tali asih,” papar Ketua Komisi II ini. []
Penulis: Fajar Hidayat
Editor: Hadi Purnomo