Gubernur Kaltim punya peran besar dalam menyukseskan percepatan penyerapan APBD Kaltim TA 2022 yang diproyeksikan naik Rp3,13 triliun dalam perubahannya. Kebijakannya dalam mengonsolidasi ‘perselisihan’ antar pejabat, terutama di BPBJ dan PUPR-PERA, akan sangat membantu pelaksanaan kegiatan anggaran. Gubernur seharusnya turun tangan.
SAAT digelar Rapat Paripurna ke-34 Masa Sidang III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), pada Rabu (07/09/2022), Sutomo Jabir, selaku juru bicara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyampaikan pandangan fraksi partainya yang cenderung tidak meyakini bahwa peningkatan anggaran sebagaimana diproyeksikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim, berpotensi tidak memiliki dampak maksimal bagi masyarakat.
Menanggapi nota penjelasan Keuangan dan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim Tahun Anggaran (TA) 2022 sebagaimana yang telah disampaikan Pemprov Kaltim, Fraksi PKB mempertanyakan, apa gunanya mengalami sebesar Rp3,37 triliun, jika serapannya tidak berjalan maksimal. Melihat tingkat penyerapan anggaran hingga triwulan ketiga, pihaknya menilai masih sangat rendah. Banyak kendala yang menghambat realisasi anggaran tersebut, di antaranya karena persoalan proses administrasi lelang yang terlalu lama.
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai segala permasalahan yang menghambat realisasi APBD Kaltim TA 2022, dan solusi, sekaligus rekomendasi yang disampaikan Fraksi PKB, Berita Borneo, secara eksklusif melakukan wawancara dengan politisi yang juga menjabat sebagai Ketua Pengurus Cabang PKB Kabupaten Berau, siang hari setelah digelarnya Rapat Paripurna ke-34, di ruang kerjanya, Lantai 5, Gedung D Kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda. Berikut adalah petikan wawancara dengan anggota legislatif kelahiran Samarinda, 22 Agustus 1981 ini.
Apa yang sebenarnya ingin disampaikan Fraksi PKB terhadap nota penjelasan keuangan dan Ranperda tentang Perubahan APBD Kaltim Ta. 2022?
Ini kan nota penjelasan untuk perubahan sudah masuk, dari rencana semula APBD tahun anggaran 2022, sebelas koma lima triliun rupiah, perubahan ternyata naik menjadi empat belas koma tiga enam sembilan triliun rupiah. Signifikan naiknya. Sedangkan yang ada saja belum dibelanjakan dengan maksimal, apalagi ditambah SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, red). Pasti akan menjadi SILPA lagi. Empat belas triliun rupiah tidak ada artinya kalau nggak dipakai. Kalau cuma angka di atas kertas ini, nggak ada apa-apanya bagi masyarakat. Sekarang kan banyak persoalan yang menyebabkan serapan anggaran yang rendah.
Menurut pandangan fraksi partai Anda, persoalan apa saja yang menyebabkan realisasi APBD Kaltim Tahun Anggaran ini tidak maksimal?
Kita ambil dua sampel SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Perangkat Daerah, red) yang paling tinggi anggarannya, pertama, Dinas Pendidikan. Di Dinas Pendidikan, proses belanjanya kan sudah dimudahkan dengan e-catalog. Rata-rata pengadaan melalui e-katalog, proses belanjanya kan nggak lama. Mudah proses belanjanya, tinggal klik sudah tersedia di website LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, red), dengan spek yang dibutuhkan, tapi kenapa sampai sekarang masih banyak yang tidak tereksekusi.
Apa penyebabnya? Apakah mengenai kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur perangkat daerahnya?
Saya menengarai, selain SDM, kesiapan mereka untuk menyusun program dengan anggaran besar, dan juga ada tarik-menarik kepentingan mereka di sana. Pasti ada seperti itu, kalau nggak, ngapain lambat laporan, tinggal klik muncul, ada semua tinggal pilih, distributor mana nih, harganya sudah ditentukan, tinggal merek apa yang dibutuhkan, ada semua.
Selain Dinas Pendidikan, perangkat daerah mana lagi yang realisasi kegiatannya lambat?
Dinas PUPR (Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Perumahan Rakyat, red). Dinas PU itu kan programnya pastinya membutuhkan waktu lama. PUPR sampai sekarang masih banyak yang tidak terlaksana, masih proses lelang, kemudian masih banyak yang belum berkontrak, ini sudah masuk triwulan ketiga.
Dalam pantauan dan pengawasan Anda, berapa persen sebenarnya realisasi anggaran dari kedua perangkat daerah ini?
Belum ada 50 persen, paling sedikit 30 persen. Kalau dinas pendidikan belum ada datanya. Karena saya di Komisi III (Komisi yang membidangi pekerjaan umum dan perencanaan pembangunan, red) Kalau Dinas PU, masih banyak yang belum proses lelang, masih sekitar 30 persen, karena beberapa hari yang lalu, kita ada RDP (Rapat Dengar Pendapat, red), bahkan ada SKPD yang sarapannya belum sampai 10 persen.
Sebenarnya apa alasan perangkat daerah ini sulit merealisasikan kegiatan yang menjadi tanggung jawab mereka?
Alasan mereka karena lambat proses lelang, ada masalah. Proses lelang itu dilakukan di ULP (Unit Layanan Pengadaan di Biro Pengadaan Barang dan Jasa atau BPBJ, Sekretariat Provinsi Kaltim, red). Setelah dievaluasi Pokja (Kelompok Kerja Pemilihan, red), diserahkan ke PU sebagai KPA, Kuasa Pengguna Anggaran. Yang menjadi persoalan, seolah olah terjadi pengambilan tugas ganda, karena dievaluasi di ULP, nanti dievaluasi lagi di PU.
Di ULP itu untuk menentukan pemenang, untuk menghindari gagal lalang dan lelang ulang, bukan cuma satu pemenang yang ditetapkan, ada namanya pemenang cadangan satu, dua dan seterusnya, sehingga kalau pemenang satu gagal, cadangan satu alternatif.
Faktanya, kalau dikirim ke PU, dievaluasi lagi, kalau tidak setuju, tidak dikehendaki, tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan proses mereka, dikembalikan lagi ke ULP untuk dievaluasi ulang, sehingga jadi bolak balik. Yang mestinya proses lelang itu cuma dua minggu, jadi berbulan-bulan, bahkan ada yang gagal lelang. Ini kan jadi penghambat.
Apakah terhambatnya proses tender juga menjadi dasar adanya evaluasi DPRD Kaltim terhadap kinerja Pelaksana Tugas Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa?
Kita melihat ada yang tidak sinkron antara SKPD dan Bangja, Barang dan Jasa. Mestinya Pak Gubernur atau Sekda (Sekretaris Daerah, red) turun tangan. Kan pemandangannya nggak bagus, masak produk ULP dan PU beda, sementara payung hukumnya sama, menyangkut barang dan jasa, ada Perpres 12/2021 (Peraturan Presiden tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, red), itu dipakai di ULP dan juga di PU. Kenapa produknya berbeda? Di sana sudah ditentukan pemenang, di sini dinyatakan salah, berarti kan ada yang salah, itu yang menjadi salah satu penghambat kegiatan-kegiatan konstruksi.
Kegiatan konstruksi tahun ini mengalami kemunduran, karena data statistik menunjukkan bahwa kontribusi industri jasa konstruksi Kaltim menurun, minus dua koma empat belas persen. Sementara ekonomi Kaltim itu ditunjang dari dari tiga sektor utama, pertambangan dan galian, industri pengolahan, dan jasa konstruksi.
Kalau trouble salah satu di antara tiga sektor, pasti goyang perekonomian Kaltim. Misalnya pertambangan, akan goyang perekonomian Kaltim. Industri pengolahan, seperti di Pupuk Kaltim, kan ekonomi Kaltim bergantung. Termasuk jasa konstruksi, kalau itu goyang, goyang ekonomi Kaltim. Maka, kita sayangkan kalau serapan anggaran, khususnya di bidang jasa konstruksi, rendah, karena bukan cuma pembangunan hasil jasa konstruksi itu, juga menyerap tenaga kerja yang lumayan besar.
Lalu apa rekomendasi Fraksi PKB kepada Pemprov Kaltim untuk menyelesaikan permasalahan tersebut?
Kalau rekomendasi, langkah pemerintah harus segera dilakukan percepatan. Langkah pemerintah itu, Gubernur harus turun tangan, mengkonsolidasikan bawahannya, ULP dan PU duduk bareng, apa sih parameternya untuk menentukan, bagaimana SOP (standar operasional prosedur, red) menyeleksi kontraktor. Jangan sudah ada lembaga yang dipercayakan untuk menyeleksi, PU melampaui kewenangan untuk mengevaluasi ulang, kan menjadi terhambat. Dari pusat dipermudah lelang. Untuk apa? Supaya cepat terealisasi, supaya mudah dinikmati masyarakat. Jangan lagi kita di daerah mempersulit yang sudah mudah. Saya melihat ada kesan mempersulit yang mudah, sehingga menyebabkan SILPA yang tinggi. Dua tahun berturut turut, sudah di atas dua triliun rupiah SILPA-nya.
Menyinggung masalah SILPA, perangkat daerah yang paling banyak menyumbangkan SILPA bukan kah Dinas Kehutanan, sampai ratusan miliar rupiah?
Yang ada di kehutanan, jumlahnya ratusan miliar rupiah, karena itu DBH DR (Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi, red), Jadi dana yang diberikan untuk kompensasi Kaltim, tapi penggunaannya atau peruntukannya diatur oleh Kementerian Kehutanan. Dikasih duit tapi tidak sewenang-wenang untuk membelanjakan, misalnya hanya bisa dibelanjakan untuk penanggulangan kebakaran hutan, reboisasi. Jadi kalau tidak jalan program itu, mengendap duit ini, sehingga selalu menjadi SILPA.
Tapi itu kan cerita sekitar ratusan miliaran saja, nggak sampai triliunan. Kalau di PU yang besar, tahun lalu, dua koma empat puluh lima triliun rupiah dari PU saja, semua SILPA. Tahun sebelumnya dua koma sembilan puluh lima triliun, hampir tiga triliun. Tahun ini banyak lagi ini, contohnya Gedung Inspektorat tidak terlaksana, Rumah Sakit Wahab Syahrani seratus miliar rupiah lebih tidak terealisasi, kan jadi SILPA semua itu. Belum yang lainnya. Tahun ini dikerjakan.
Bagaimana dengan Gedung Korpri (Korps Pegawai Negeri Sipil)?
Nggak tahu terlaksana apa tidak, dianggarkan kan tapi belum terserap semua. Di akhir tahun baru kelihatan.
Bagaimana dengan Rumah Sakit Mata?
Sama kondisinya, kan Inspektorat itu sudah terbangun strukturnya, sudah menghabiskan duit sekitar 30 miliar rupiah. Gedung itu mangkrak sekarang, paling tahun depan dikerjakan lagi, sekitar seratus-an miliar atau lebih. Yang jelas, kinerja mereka nggak bagus perencanaan kerjanya. Kalau mau bagus, PUPR atau SKPD yang ada menyiapkan lelang sejak dini, dari bulan 12 kan sudah diketok anggaran. Misalkan lelang dilaksanakan dini, dua bulan kemudian sudah kontrak. Mereka punya waktu kerja lama kan. Persoalannya, siap nggak SKPD nya, siap nggak PUPR dengan dokumen lelang itu. Jadi tanya saja PU-nya, siap lelangnya kapan?
Lalu apakah adanya Pergub 49 (Peraturan Gubernur Nomor 49 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian, Penyaluran dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Keuangan Pemerintah Daerah), juga menjadi kendala dan menyebabkan SILPA?
Itu salah satu yang menyebabkan SILPA besar, karena bantuan keuangan tidak bisa dilaksanakan artinya dikembalikan. Kita sudah bersurat (ke Gubernur Kaltim, red), pimpinan yang menyurat, kan ranah pimpinan. Yang jelas kita menyuarakan agar direvisi. [] Redaksi