ADVERTORIAL – Kolaborasi antar seluruh pemangku kepentingan menjadi salah satu kunci dalam mewujudkan transformasi kesehatan sebagaimana diamanahkan dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) berkomitmen akan mendorong terbentuknya kolaborasi tersebut.
Pernyataan itu disampaikan Penjabat (Pj) Gubernur Kaltim Akmal Malik usai memimpin upacara memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-59 di halaman Gelanggang Olahraga (GOR) 27 September Universitas Mulawarman, Jalan Tanjung Palas, Gunung Kelua, Samarinda, Senin (13/11/2023).
“(Pemprov, red) akan mendorong adanya kolaborasi antara semua pemangku kepentingan guna mewujudkan transformasi sistem kesehatan,” ujar Pj Gubernur kepada awak media yang mewawancarainya usai memimpin upacara HKN.
Menurut pandangan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang juga pernah menjabat selaku Pj Gubernur Provinsi Sulawesi Barat ini, kontribusi dari komponen kesehatan di Kaltim saat ini sudah cukup bagus, untuk itu perlu didorong adanya kolaborasi itu agar kontribusinya dapat lebih ditingkatkan.
“Saya melihat kontribusi dari komponen komponen seperti rumah sakit kemudian lembaga lembaga kesehatan yang lain juga cukup bagus. Kita sekali lagi mendorong kolaborasi karena hal itu sangat penting di dalam pembangunan bidang kesehatan,” terang Akmal Malik yang dilantik jadi Pj Gubernur Kaltim pada awal Oktober 2023 lalu.
Keberadaan lembaga swasta dalam kolaborasi juga mutlak diperlukan, sehingga hasilnya dapat lebih optimal. “Ke depannya kita berharap kolaborasi ini akan lebih meningkat dengan mendorong lembaga lembaga swasta untuk lebih optimal memainkan peranannya tetapi tentunya tetap di bawah regulasi yang telah ditentukan,” terang Akmal Malik.
Kewajiban pemerintah daerah adalah melaksanakan pelayanan dasar termasuk pelayanan bidang kesehatan. Dalam UU Kesehatan terdahulu, bahkan pelayanan dasar kesehatan pemerintah daerah wajib dialokasikan anggaran minimal 10 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Tapi mandatory spending dalam UU Kesehatan terbaru telah dihapus.
“Urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah pelayanan dasar, itu kenapa (dahulunya, red) daerah diminta untuk mengalokasikan anggaran sesuai yang diamanahkan dalam undang undang yaitu sebesar minimal 10 persen,” kata Akmal Malik.
Meskipun menjadi mandatory spending, namun demikian masih ada pemerintah daerah kabupaten dan kota yang belum mengalokasikan anggaran bidang kesehatan di bawah 10 persen. Hal tersebut, lanjut Akmal Malik, menjadi tugas Pemprov untuk mengevaluasi lagi, karena kewenangan mengevaluasi itu ada pada provinsi.
“Kami mendorong kolaborasi dan Pak Menteri (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, red) dalam amanatnya meminta kolaborasi dalam pembangunan bidang kesehatan. Kalau ingin transformasi kesehatan sukses, maka kuncinya adalah kolaborasi,” pungkas Akmal Malik. (ADV/AJS/DISKOMINFO)