Pemilu 2024: Benarkah Ada Kecurangan?
oleh : Anjas Asmara
PEMILIHAN Umum (Pemilu) serentak 2024 kembali mengukuhkan diri sebagai agenda kolosal demokrasi yang menjadikannya sebagai pemilu satu hari terbesar di dunia dengan kerumitan teknis yang begitu luar biasa.
Pemungutan suara dilaksanakan di 38 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, 83.771 kelurahan/desa, dan 128 kantor perwakilan Republik Indonesia. Terdapat 823.236 tempat pemungutan suara (TPS), dengan rincian 820.161 TPS dalam negeri dan 3.075 TPS luar negeri yang melayani total 204.807.222 orang dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Selain tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, juga terdapat 258.596 calon anggota legislatif (caleg). Itu meliputi 9.917 caleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 668 caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 33.236 caleg Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan 214.775 caleg DPRD kabupaten/kota.
Rabu, 14 Februari 2024 lalu menjadi ajang terakhir bagi peserta pemilu, maupun masyarakat dalam menunaikan hak kedaulatannya sebagai warga negara dalam memilih pemimpin yang diharapkan.
Tahapan demi tahapan proses pemilu memang tidak mudah. Banyak tantangan dan gejolak politik bermunculan yang dihadapi dari berbagai arah. Dan tentu kondisi demikian bukanlah sesuatu yang baru dalam setiap perhelatan politik pemilu di Indonesia.
Hari ini, masyarakat Indonesia telah memutuskan memilih calon presiden dan wakil presiden sebagai pemimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Hak pilih yang digunakan merupakan kedaulatan dengan pertimbangan, analisa dan tanggung jawab moral yang tinggi. Dengan alasan demikian, masyarakat sebagai pemilik hak suara harus benar-benar dilindungi dan dijaga suaranya secara profesional.
Akan tetapi menarik untuk dipahami dengan seksama, bahwa kondisi hasil pemilu kali ini khusus pilpres menuai banyak protes dari masyarakat. Jujur atau tidak, banyak kontradiksi kasat mata yang dinilai mengalami kekeliruan pada hasil rekapitulasi suara sementara pilpres 2024 dari penyelenggara pemilu.
Persoalan ini tentu saja memicu suatu kekhawatiran, keraguan dan ketidakpercayaan rakyat maupun kontestan pemilu.
Munculnya masalah ketidakwajaran pada hasil rekapitulasi pemilu tersebut membuat masyarakat berspekulasi mengarah pada kecurangan pemilu. Karena dari data Sirekap Real Count yang telah keluar dari situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) terdapat hasil tidak valid dan akurat di beberapa titik pemungutan suara (TPS).
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dalam konferensi pers di kantornya di Jakarta, Kamis (15/02/2024) mengakui, dalam Sirekap ditemukan 2.325 TPS yang mengalami perbedaan antara konversi hasil penghitungan suara dan formulir yang diunggah.
Dari temuan ini menunjukkan suara yang didapatkan oleh pasangan calon presiden dan wakil Presiden sangat berbeda jauh dengan formulir C1-Plano dan hasil Sirekap KPU.
Temuan ini menjadi sebuah dasar, jika potensi adanya dugaan masyarakat terhadap kecurangan pemilu bisa saja terjadi. Melihat hasil Real Count KPU yang sudah terang-terangan tersebut berbanding terbalik dari hasil yang sesungguhnya.
Meski di lain di sisi KPU telah mengklarifikasi bahwa kesalahan tersebut disebabkan oleh sistem error, sehingga salah membaca data dalam foto yang diunggah oleh pihak TPS yang tersebar di seluruh tanah air. Tetapi gejolak ketidakpercayaan itu telah muncul dari masyarakat, terutama para pendukung paslon yang merasa dirugikan.
Peristiwa pemilu ini bukan soal siapa yang kalah dan menang. Siapa pun pemenangnya suka tidak suka, mau tidak mau harus diterima sebagai pemimpin bangsa ini. Karena hal itu sudah menjadi konsekuensi logis dari sistem demokrasi di dalam ranah pertarungan politik yakni pemilu.
Akan tetapi terlepas dari kepentingan itu, kewajiban rakyat untuk menjaga marwah demokrasi ini harus menjadi premis utama bagi kemajuan bangsa ini. Supaya demokrasi pemilu yang diperjuangkan para pendahulu betul-betul menjadi ruang untuk menghasilkan pemimpin bernilai dan berintegritas di pelbagai aspek.
Demokrasi bangsa ini terlalu sempit jika dipandang hanya sebatas menang dan kalah pemilu. Namun mendiami kesalahan dan membenarkan yang salah karena alasan kepentingan sesaat, justru merugikan bangsa ini. Jika hal tersebut terjadi di dalam berdemokrasi pemilu kita, lantas bangsa ini mau dibawa ke mana?
Pemilu masih berproses, perhitungan suara masih bertahap di KPU. KPU RI terus memperbarui hasil hitung suara atau real count Pemilu 2024. Data terbaru di Pilpres, suara masuk sejauh ini sudah mencapai 64,01 persen di 526.944 TPS dari total 823.236 TPS yang ada di Indonesia.
Oleh karena itu, rakyat sebagai pemilik hak suara mempunyai kepentingan yang cukup besar untuk terus mengawasi dan memantau hasil pemilu dari KPU. Sesuai prinsip demokrasi, pemilu harus berlandaskan pada nilai kejujuran, keadilan, transparansi. Agar hasil pemilu jurdil ini menjadi tolak ukur kepemimpinan Indonesia lima tahun ke depan. Merdeka! (*)