Memahami Menangnya Prabowo – Gibran

Memahami Menangnya Prabowo – Gibran

TAK perlu menunggu lama untuk mengetahui siapa pemenang pemilihan presiden (pilpres) 2024. Hanya beberapa jam usai pencoblosan, pasangan calon (paslon) nomor urut 02 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka “dikukuhkan” sebagai pemenang lewat hitung cepat (quick count) sejumlah lembaga survei.

Bayangkan, pemungutan suara yang dilaksanakan di 38 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, 83.771 kelurahan/desa, dan 128 kantor perwakilan Republik Indonesia, dengan 820.161 tempat pemungutan suara (TPS) dalam negeri dan 3.075 TPS luar negeri yang melayani total 204.807.222 orang dalam daftar pemilih tetap (DPT), hasilnya bisa ketahui dalam sekejap. Indonesia memang luar biasa.

Fenomena menangnya Prabowo – Gibran adalah sebuah ”teks terbuka” yang bisa dipahami secara berbeda-beda. Setiap orang punya cara pandang masing-masing. Dari para pendukung sudah pasti merayakan kemenangan dan dari pihak yang sementara saat ini diungguli masih menanti kejelasan perhitungan real dari KPU. Atau dengan kata lain “yang menang merayakan dan yang kalah menjelaskan”.

Jika ditelaah secara mendalam ada tiga kubu politik dalam pertarungan pilpres tahun ini: kubu perubahan, kelanjutan, dan melawan kecurangan. Di dalam kampanye pun sedikit nampak kubu ini dalam pertarungan merebut kursi RI satu. Dengan demikian, Anies Baswedan mewakili aspirasi perubahan, Prabowo Subianto kelanjutan, dan Ganjar Pranowo melawan kecurangan (Ulil Abshar,2024).

Kemenangan sementara Prabowo-Gibran yang lumayan meyakinkan satu putaran itu menunjukan bahwa masih ada keinginan dari masyarakat untuk pembangunan Indonesia masih ala Jokowi. Sejalan dengan kubu kelanjutan program yang digaungkan oleh pasangan calon nomor 2 tersebut.

Kemenangan ini jelas ternodai oleh begitu banyaknya pelanggaran etik dan aturan sebagaimana direkam dalam film Dirty Vote yang menghebohkan itu. Pelanggaran-pelanggaran itu memang benar ada, tetapi tidak bisa menyangkal fakta bahwa rakyat, dengan suara yang begitu besar, tetap menginginkan jalan pembangunan ala Jokowi. Suka atau tak suka ini adalah hasil yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.

Kemunduran Demokrasi
Ada sedikit kemunduran demokrasi yang dialami oleh bangsa saat ini. Kalangan terdidik yang umumnya menghendaki perubahan itu sudah terbiasa dengan narasi ”kemunduran demokrasi” (macam-macam sebutannya: democratic backsliding, democratic declince, democratic stagnation). Tanda-tanda kemunduran itu memang kita lihat di mana-mana sejak Jokowi menjadi presiden.

Puncaknya, tentu saja, adalah akal-akalan melalui ”intervensi” dalam Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah syarat minimal umur kandidat presiden/wakil presiden yang akhirnya memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres.

Dengan kemenangan Prabowo ini, apakah narasi kemunduran demokrasi itu nyata-nyata menjadi keprihatinan rakyat luas, atau, sebaliknya, hanya keprihatinan kalangan kelas menengah terdidik saja?

Bentuk kemunduran ini belum menjadi perhatian akar rumput. Masyarakat terkesan terlena dengan keadaan bangsa. Masyarakat masih ingin menikmati keberlanjutan program Jokowi. Bentuk perlawanan terhadap kemunduran demokrasi ini hanya ditunjukan oleh kaum akademisi dan orang yang memiliki keperihatinan khusus akan negara.

Ada semacam pemikiran yang menunjukan bahwa kemunduran dari demokrasi itu bukan hal yang urgen. Terjadi pembiaran yang begitu signifikan. Hal ini harus menjadi kesadaran bersama agar marwah demokrasi segera pulih.

Ini kemudian berarti bahwa kemenangan Prabowo-Gibran bukan bagian dari demokrasi. Kemenangan ini dilahirkan dari demokrasi tetapi demokrasi yang mungkin agak cacat karena ada pelanggaran etik di dalamnya.

Dengan segala kemunduran yang kita lihat tanda-tandanya selama ini, demokrasi di Indonesia tidak bisa dibunuh. Kekuatan demokrasi tidak hanya dinilai dari keberpihakan oligarkis yang ingin menguasai jabatan melainkan dari adanya kekuatan masyarakat sipil dalam mengawal jalannya negara; sistem pemerintahan presidensiil yang di dalamnya ada pembatasan kekuasaan presiden dan masyarakat tetap diberi kebebasan dalam berdemokrasi.

Pada akhirnya terpilihnya Prabowo-Gibran merupakan kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka masyarakat memiliki peran untuk mendukung kebrlanjutan bernegara dengan tetap mengawal jalannya pemerintahan yang baik. Karena sejatinya kedaulatan penuh negara itu berada di tangan masyarakat. (*)

 

Editorial Headlines Tajuk Rencana