JAKARTA – Populasi di Jepang mengalami penurunan yang cukup drastis. Kondisi ini menjadi alarm bahaya bagi ekonomi dan perusahaan Jepang bahkan bisa berimbas ke Indonesia. Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia, Data National Institute of Population and Social Security Research, menunjukkan bahwa populasi Jepang terus mengalami peningkatan sejak 1872. Pada saat itu populasi Jepang hanya sejumlah 34,8 juta jiwa dengan didominasi oleh laki-laki sebanyak 17,66 juta dan perempuan 17,14 juta.
Lebih lanjut, rata-rata laju pertumbuhan secara tahunan pun tergolong positif.Namun, Statistics Bureau of Japan dengan cut off setiap Oktober, menunjukkan bahwa populasi Jepang mencapai puncaknya pada 2010 sebanyak 128,06 juta.Sejak saat itu, populasi Jepang terus mengalami penurunan didukung dengan rata-rata laju kontraksi secara tahunan.
Populasi Jepang pada Oktober 2023 tercatat hanya sebesar 124,35 juta atau turun 3,71 juta dalam kurun waktu 13 tahun terakhir. Penurunan populasi Jepang tercatat lebih dari sekitar 531.000 dalam satu tahun terakhir seiring dengan bertambahnya usia populasi dan rendahnya angka kelahiran. Jumlah kelahiran di Jepang mencapai angka terendah sepanjang masa sebesar 730.000 pada tahun lalu. Jumlah kematian sebanyak 1,58 juta pada tahun lalu juga merupakan angka tertinggi yang pernah tercatat.
Data yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri juga menunjukkan bahwa peningkatan 11% dalam jumlah penduduk asing membantu populasi mereka melampaui 3 juta untuk pertama kalinya. Mereka kini membentuk hampir 3% dari total populasi dan sebagian besar berada dalam usia kerja antara 15 hingga 64 tahun.
Mengacu pada Refinitiv, total populasi di Jepang didominasi oleh kalangan umur 15-64 tahun dengan persentase 58,46%, umur di atas 64 tahun sebesar 30,07%, dan umur 0-14 tahun sebanyak 11,47%. Jika dilihat lebih panjang, hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat umur produktif (15-64 tahun) cenderung terus mengalami penurunan setidaknya sejak 2003 dari 66,55%. Sementara kalangan umur di atas 64 tahun justru terus mengalami peningkatan dari 19,57% (2003) menjadi 30,07% (2023).
Survei menunjukkan bahwa generasi muda Jepang semakin enggan untuk menikah atau memiliki anak, disebabkan oleh prospek pekerjaan yang suram, biaya hidup yang tinggi yang meningkat lebih cepat dibandingkan dengan gaji, dan budaya korporat yang bias gender yang menambah beban terutama pada wanita dan ibu yang bekerja.
Akhirnya pemerintah mengalokasikan 5,3 triliun yen (US$34 miliar) sebagai bagian dari anggaran 2024 untuk membiayai insentif bagi pasangan muda agar memiliki lebih banyak anak, seperti meningkatkan subsidi untuk perawatan anak dan pendidikan, dan diperkirakan akan menghabiskan 3,6 triliun yen (US$23 miliar) dalam bentuk uang pajak setiap tahun selama tiga tahun ke depan.
Para ahli mengatakan bahwa langkah-langkah ini sebagian besar ditujukan untuk pasangan yang sudah menikah yang berencana untuk memiliki atau yang sudah memiliki anak, dan tidak menangani jumlah orang muda yang semakin enggan untuk menikah. Populasi Jepang diperkirakan akan turun sekitar 30%, menjadi 87 juta pada tahun 2070, ketika empat dari setiap sepuluh orang akan berusia 65 tahun atau lebih.
Sebanyak 260 perusahaan mengalami kebangkrutan pada 2023, rekor tertinggi, karena mereka tidak dapat memperoleh cukup tenaga kerja untuk mempertahankan operasi mereka, menurut laporan dari Teikoku Databank. Industri konstruksi dan logistik menyumbang sekitar 40% dari total, dengan banyak usaha kecil terkena dampaknya. Dampak kekurangan tenaga kerja terhadap manajemen perusahaan semakin serius.
Terdapat 182 kasus “kebangkrutan akibat kekurangan tenaga kerja” yang disebabkan oleh pengunduran diri karyawan, kesulitan dalam merekrut, dan meningkatnya biaya tenaga kerja pada paruh pertama tahun 2024 (Januari hingga Juni). Angka tahunan ini menunjukkan laju yang secara signifikan melebihi rekor sebelumnya.
Kendati belakangan ini rasa kekurangan tenaga kerja menunjukkan tanda-tanda sedikit mereda, Namun rasa kekurangan tenaga kerja tetap pada tingkat yang tinggi sehingga ada kemungkinan jumlah kasus perusahaan yang terpaksa bangkrut, terutama usaha kecil, akan terus meningkat.
Ketika depopulasi berdampak signifikan terhadap perusahaan di Jepang, maka produktivitas dalam menciptakan barang pun akan terganggu. Pada akhirnya hal ini berdampak terhadap permintaan domestik negara tersebut. Kondisi ini bisa berimbas pada produksi negara yang bersangkutan dan mengurangi permintaan bahan pendukung produksi, termasuk dari luar negeri seperti Indonesia.
Sebelum dekade 2010-an, Jepang merupakan menjadi tujuan ekspor utama ataupun mitra dagang terbesar bagi Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai perdagangan Indonesia-Jepang pada 2004 tercatat US$ 18,62 miliar di mana ekspor Indonesia mencapai US$ 15,96 miliar.
Namun, berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), ekspor Indonesia ke Jepang mengalami penurunan sejak 2022. Pada saat itu, Indonesia mengekspor sebanyak US$24,85 miliar ke Jepang dan menurun menjadi US$20,78 miliar pada 2023.
Sementara pada periode Januari-Mei 2024 kembali menurun menjadi US$8,72 miliar. Angka ini 7,61% lebih rendah dibandingkan periode yang sama 2023. Tidak sampai di situ, realisasi investasi yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dari Jepang ke Indonesia cenderung mengalami penurunan meskipun pada 2022 dan 2023 mengalami kenaikan.
Pada 2017, Penanaman Modal Asing (PMA) oleh Jepang ke Indonesia sebesar US$5 miliar dan terus menurun menjadi US$2,3 miliar pada 2021. Untuk diketahui, realisasi yang dicatat BKPM di luar investasi sektor hulu migas, perbankan, lembaga keuangan non-bank, asuransi, sewa guna usaha, industri rumah tangga, Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Catatan Japan External Trade Organization (JETRO) menunjukkan nilai investasi perusahaan Jepang di Indonesia baik melalui investasi baru, merger, ataupun akuisisi melonjak sejak era reformasi. Nilainya meningkat dan mencapai titik tertingginya pada 2019 yakni US$40,04 miliar dan terus menurun menjadi US$35,73 miliar pada 2022 dan naik menjadi US$38,09 miliar pada 2023. Ekspor Jepang dan investasi dari Negara Sakura bisa semakin mengecil jika penduduk Jepang terus mengalami penurunan dan aktivitas ekonomi negara tersebut melandai.[]
Putri Aulia Maharani