Air Tak Mengalir Sampai Jauh

Air Tak Mengalir Sampai Jauh

Oleh Max Donald Tindage

AIR, sesuai sifatnya, cair, bening tak berwarna dan selalu mengalir mencari ruang-ruang kosong pada wilayah atau tempat yang lebih rendah. Karena itu, air seharusnya dikelola dan diperlakukan sebagaimana sifatnya. Mengalir makna filosofisnya, tata kelolanya tidak boleh tersendat sendat.

Sedangkan filosofi cair memberi arti tentang fleksibilitas yang selalu mencairkan suasana, memberikan kenyamanan bagi penggunanya, tetapi air dengan sifatnya yang luwes ini bisa juga memberi kejutan dan rasa takut bagi kehidupan ini bila tidak air lagi. Es memberi kejutan rasa dingin tatkala airitu berubah menjadipadat, bahkan ketika air itu tidak mengalir sebagaimana mestinya, banjir pasti datang menggenang, bahkan bisa mengganas melibas apapun yang dilewatinya.

Saat ini, di era globalisasi, air juga telah menjadi komoditas bisnis yang sangat menggiurkan, bahkan menjadi ‘rebutan’ tatkala negara ikut ambil bagian dalam hal pengelolaan dan peruntukkannya.

Makna ‘dikuasai’ dan ‘dimanfaatkan’ sebesar besarnya kemakmuran rakyat, merupakan perintah konstitusi yang sudah barang tentu harus dicermati untuk ditata sejak dini sebelum terjadi ‘monopoli bisnis’ oleh pihak swasta yang sangat piawai mengolah komoditas apapun untuk dijadikan ladang bisnisnya.

Itulah sebabnya di hampir semua daerah di belahan bumi nusantara ini, berdirilah perusahaan daerah yang khusus dan spesifik mengurusi air dan bertanggung jawab mengelola air, menjamin ketersediaan kebutuhan masyarakat, terutama dalam hal ketersediaan air yang bersih, sehat dan aman untuk dikonsumsi.

Perusahaan Dearah Air Minum (PDAM) Tirta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) adalah salah satu dari sekian banyak perusahaan daerah yang berdiri atas dasar pelayanan publik, kendatipun masih diselingi dengan ‘ancaman pencopotan’ meteran air, tatkala pelanggan belum dapat membayar tagihan bulanannya.

Perusahaan daerah yang sejak berdiri sampai saat ini telah menghabiskan ratusan milyar dana kas daerah, ternyata belum mampu mengalirkan air ke rumah-rumah masyarakat, bahkan dalam hitungan separuh pun belum tercapai.

Dan, kembali kita dihembusi ‘sepoi kesejukan’ bahwa pada lembaran kalender nanti, semua persoalan telah tuntas, asalkan kucuran dana segar yang masih harus mengalir dari kas daerah, secepat dan selancar aliran uang itu.

Keyakinan yang tidak disertai kalkulasi dan perencanaan baik justru semakin bertentangan dengan sifat air yang bening itu, sifat yang mencerminkan transparansi dan keterbukaan dalam pengelolaannya.

Alasan klasik bahwa perusahaan daerah ini belum bisa eksis karena biaya produksi masih lebih besar dari harga jual, malah semakin mengaburkan rasa tanggung jawab untuk berbenah dan membenahi manajemen perusahaan.

PDAM Tirtam Mahakam

Padahal telah diingatkan untuk segera menata kembali manajemen pengelolaannya tidak hanya berkutat pada selisih harga dan biaya, tapi juga memperhatikan pemborosan karena menumpuknya pegawai, pembiaran karena tingginya tingkat kehilangan akibat kebocoran pipa bahkan pengabaian karena mutu air belum memenuhi harapan, apalagi keyakinan untuk dapat memperbaiki dan mengganti pipa-pipa yang sudah mulai lapuk.

Hak di balik alibi pelayanan publik tidak lagi terjaga keseimbangannya oleh kewajiban memenuhi harapan rakyat jelata, ibarat “Simsalabim!” ketika permintaan kepada pemerintah daerah untuk merealisasikan anggaran yang telah disetujui pemerintah daerah dengan daripada belum terpenuhi. Maka, sumbat-sumbat dari saluran itu hanya dapat meneteskan sepercik asa, seiring derasnya tetesan airmata rakyat kecil.

Ketika menatap si bungsu yang bakal telat ke sekolah karena belum mandi atau keluhan si sulung kala teringat betapa upah hariannya bakal terpotong lagi karena waktu petik di perkebunan sawit sudah berjalan, tapi kantong air minumnya belum terisi, padahal tanpa kantong itu tidak mungkin sanggup dilangkahkan kakinya dari tandan ke tandan dalam jarak yang hampir tak berbatas.

Sayup terdengar bunyi merdu dari balik tembok tetangga sebelah, seiring alunan langgam keroncong idola sang kakek, mendayulah syair bengawan solo dari Gesang, “Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut.”

Mungkinkah itu bakal terjadi jika kita bersabar? Sementara rasa pesimis kian lama kian melambung, apalagi terdengar kabar telah ratusan miliar dialokasikan demi tujuan pelayanan publik itu.

Realistis, Kota Tenggarong sendiri yang menjadi tolak ukur operasional masih belum tuntas terladeni, padahal untuk kenaikan harga yang tinggi tidak pernah dikeluhkan. Sedangkan mutu air masih seperti dulu, 17 tahun yang lalu, agak kecoklatan secoklat misteri sungai mahakam. Lantas kapan desa terpencil ini merasakan bahwa mereka juga bagian dari rakyat Kukar, mereka juga rindu belimbur tanpa menimba dari sungai, tapi dari keran air di samping rumah gubuk mereka.

Kenyataan memang menyayat hati, namun ketika penghujan tiba, warna coklat itu semakin terlihat keruh, sekeruh kolam penuh plastik sepanjang kota tenggarong yang mulai tergenang, ternyata sifat air memang begitu adanya, harus mengalir demi keseimbangan alam ini.

Lantas ke mana aliran dana normalisasi dan pembuatan drainase Kota Tenggarong? Sementara dalam catatan, kira-kira sebesar Rp 20 milyar dan hampir semua parit, saluran drainase yang ada telah dikerjakan dan dibayarkan.

Lalu kenapa air belum juga mengalir baik? Mungkinkah pekerjaan itu tidak dilakukan dengan baik sehingga air tergenang dan tidak bisa mengalir.

Sebagaimana sifatnya yang cair, bening dan mengalir, maka air pun bisa marah saat terhalang. Saat warna air itu makin mengeruh, sekeruh transparansi anggaran yang diharapkan terealisasi dengan baik, tapi justru makin buram, saat itulah dia memberontak , menyeruak lantang menegaskan sifatnya, memberi isyarat adanya banjir, memberi tanda datangnya tsunami dan di dalam diamnya, air yang tak bisa mengalir itu mulai meninggi, menenggelamkan rumah penduduk, busungkan dada sembari bergemuruh. “Jangan paksa aku berubah sifat.”

Kini asa kami sebatas mampu, tidak harus tercapai semakna nama, cukup mengalir kami pun lega, PDAM, tidak harus tercapai hasil sebanding namamu, Perusahaan Daerah Air Minum, tapi bagi kami kaum termarjinal, senang berbangga bila mampumu hanya menjadi Perusahaan Daerah Air Mandi. ***

Serba-Serbi