MESKI ‘malaikat pencabut nyawa’ di daerah pertambangan Desa Bukit Sigoler sering bertengger, namun tak membuat puluhan warga yang umumnya berasal dari desa tersebut, dan desa tetangganya, seperti Makjage dan Serindang, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), menghentikan aktivitasnya.
Ya, mereka adalah para penambang ilegal yang biasa mendapat sebutan Peti. Jika Dewi Fortuna sudah tak memihak, istilah Peti berubah menjadi Peti Mayat tentunya. Itu karena cara menambang mereka yang tradisional dan terkadang tak memperhatikan lingkungan, sehingga rawan menyebabkan longsor dan musibah lainnya. Jika sudah longsor dan tertimbun, nyawa pasti jadi taruhannya.
Sejak tambang emas di kawasan Desa Bukit Sigoler dibuka beberapa silam oleh warga setempat, sudah belasan orang tewas di tempat tersebut, termasuk kejadian yang berlangsung 8 Maret lalu. Kamaludin bin Nasjimi (25), warga Desa Serindang tewas di tempat tersebut karena tertimbun tanah di lubang yang ia gali.
Peristiwa longsor hingga membuat nyawa melayang tersebut seperti tak membuat warga setempat takut akan bernasib serupa. Berdasarkan informasi yang diterima media ini, dikabarkan warga masih sering menjalankan aktivitas penambangan ilegal.
Parahnya, aksi peti peti terkadang membuat orang yang melihat takjub bercampur heran, mengapa mereka seberani itu menantang maut. Dalam menggali, warga seperti tak lagi menghiraukan kedalaman galian. Lubang galian terlihat dari 8 sampai 15 meter dengan diameter 70 sampai 100 centimeter. Luar biasa bukan?
“Penambang menggunakan kompresor sebagai peralatan pernapasan dan terkadang menyelam,” tutur Japrik, seorang penambang dari Desa Serindang, kepada media ini.
Ia sendiri sebenarnya sudah pensiun dari kegiatan peti sejak 28 Februari lalu, sebelum Kamaludin menuai celaka. Japrik tak menambang lagi karena manut dengan arahan pihak kepolisian setempat. Sementara di kawasan peti Desa Bukit Sigoler, masih banyak yang tetap beraktivitas menambang.
Lalu apa alasa Japrik dan yang lainnya nekad menambang? Menurut dia, tidak lain karena tuntutan hidup yang kiat berat. Untuk hidup enak, mengandalkan gaji dari perusahaan sangat sulit didapat.
“Pemenuhan sehari hari bukan hanya sekedar mengisi perut, banyak tuntutan kehidupan yang harus kami penuhi lanjutnya pula. Kami harus bayar BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), listrik, biaya sekolah dan kuliah anak semua problema yang sangat dilematis bagi kami,” kata Japrik.
Karena tekanan ekonomi itu, mereka terpaksa memilih kerja yang mempertaruhkan nyawa. “Terpaksa kami harus memilih bidang kerja mencari emas secara ilegal ini meskipun nyawa sebagai taruhannya, mau tidak mau dibanding jadi buruh kebun sawit yang hasilnya untuk beli lauk saja tidak mencukupi,” ujar Japrik.
Sementara Kapolsek Tebas, AKP Agus Dwi Cahyo, mengaku kurang memantau aktivitas peti di Desa Bukit Sigoler. Hal itu bahkan membuatnya tak mendengar adanya kejadian meninggalnya Kamaludin yang tertimbun tanah galian peti.
Menurut Agus, sebenarnya pihaknya sudah sering melalukan operasi untuk menghentikan kegiatan peti, namun tidak disangka masyarakat seperti kucing-kucingan. “Sebelumnya sudah melakukan penyisiran ke lokasi sesuai atensi dan perintah Kapolres Sambas, dan sudah dilarang agar tidak melakukan kegiatan, namun kita kan tidak mungkin menjaga mereka sampai 24 jam di situ,” papar Agus.
Sementara Kepala Desa Serindang, Suardi, membenarkan bahwa beberapa wakrganya sering melakukan penambangan di daerah tersebut. Ia juga mengakui bahwa salah satu warganya bernama Kamaludin tewas tertimbun longsor “Korban dimakamkan sehari setelah kejadian,” kata Suardi.
PETAKA DI KETAPANG
Beberapa hari setelah peristiwa tewasnya Kamaludin, aktivitas peti di Desa Pamatang Gadung, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, juga dibuat geger dengan musibah longsornya kawasan peti.
Lebih tragis, peristiwa di hari Senin (9/3/2015) itu mengakibatkan dua orang meregang nyawa. Mereka adalah Tujan dan Dahlan satu warga asal Kabupaten Kayong Utara dan satunya Sintang. “Ada dua korban meninggal tertimbun tanah di lokasi PETI Desa Pamatang Gadung Kecamatan Matan Hilir Selatan atau sering disebut lokasi Indotani,” kata Kapolres Ketapang, AKBP Hady Poerwanto kepada wartawan di Ketapang.
Ia mengaku memang mendapat laporan adanya kecelakaan tersebut. Namun sebelumnya informasi yang berkembang korbannya hanya luka-luka. Kemudian ia memerintahkan anggotanya melakukan pengecekan langsung ke lapangan untuk mengusutnya. Kebenaran berita itu kemudian ditindaklanjuti dengan evakuasi.
ADA CUKONGNYA
Sabtu, 4 Oktober 2014 lalu, merupakan petaka yang terbilang terbesar dalam sejarah musibah peti di Kalimantan Barat. Di Goa Boma, Kelurahan Sagatani, kecamatan Singkawang Selatan, Kabupaten Singkawang, terjadi musibah longsornya peti hingga mengakibatkan 18 penambang tewas.
Akibat peristiwa tersebut, pihak polisi yang menyelidiki tak lagi di level kepolisian sektor (kecamatan) dan resor (kabupaten), tetapi daerah. Kepolisian Daerah (Polda) Kalbar langsung menangani kasus tersebut dan memburu cukongnya. Karena aktivitas peti, tak mungkin jika tidak ada yang memodalinya.
Dari hasil penyidikan, Suharni alias Tole (35), warga Desa Goa Boma yang terlihat paling berduit ketimbang warga desa lainnya, ditetapkan sebagai tersangka atas peristiwa tersebut. Ia diyakini sebagai cukong atau otak yang memodali kegiatan peti di daerah tersebut.
Sebenarnya, dari 18 korban tewas, 8 orang adalah keluarganya sendiri yang tertimbun tanah longsor. Saat itu polisi menjerat Tole dengan peraturan perundangan tentang mineral dan batu bara dengan ancaman hukuman sepuluh tahun penjara atau denda Rp 3 hingga Rp10 miliar. Tole juga dikenakan pasal perundangan lingkungan hidup dengan ancaman 10 tahun dan denda Rp 10 Miliar.
Dari pengakuan Tole, terungkap bahwa dalam menjalankan bisnis ilegalnya, ia memperkerjakan sembilan orang pendulang untuk mengeruk emas dalam cekungan penambangan seluas 200 meterLahan galian peti itu milik seorang warga Kabupaten Sambas. Tole menyewa lahan itu Rp8 juta per bulan.
Menurut informasi Polda Kalbar, lahannya yang digarap Tole sangat luas seperti padang pasir. Satu cekungan kira-kira 200 meter. Tapi di sekitarnya sudah tidak ada lagi kegiatan peti lain. Itu bekas tambang lama.
Adapun proses pendulangan maut ini, dengan cara menyedot tanah dan pasir dari dasar cekungan untuk ditarik ke atas permukaan. Lalu tumpukan tanah meluncur ke bawah akibat struktur tanah liat yang sangat lembut dan mengandung pasir.
Saat peristiwa maut terjadi, longsor yang terjadi tak dapat dihindari sebagian pendulang, yang tengah berada di dalam cekungan kontan tertimbun longsoran. Nyawa pendulang tak mampu diselamatkan, bahkan jasad terdiri dari 17 orang warga desa Goa Boma dan 1 warga Landak itu, awalnya sulit dievakusi karena tertimbun.
Sejak saat itu, Kapolda Kalbar, Arief Sulistianto, memerintahkan jajarannya di level polres untuk menyelidiki aktivitas Peti di Kalbar, secara mendalam. Ia bahkan meminta data inventaris pemilik, pemodal dan daftar pekerja peti yang ada di seluruh daerah di Kalbar.
Penegakan hukum terhadap penambangan emas liar menurut Arif tidak hanya pendekatan tapi harus berkordinasi. Terutama bersama pemerintah provinsi bahkan sampai ke tingkat kabupaten kota. Kegiatan PETI diakui merupakan aktivitas yang merusak lingkungan walaupun menghidupi rakyat kecil.
Menurutnya, beberapa Pemkab sudah melakukan koordinasi seperti Kabupaten Landak. Sementara Kabupaten lain masih merumuskan dan masih ditunggu. “Bahkan kita juga akan bicarakan upaya operasi besar-besaran,” tegas Arief.
Sementara pihak Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Barat melalui Kepala Bidang Mineral Batu Bara, Panas Bumi dan Air Tanah, Wiro Pranata mencurigai ada cukong besar dari aktifitas PETI (Penambang Emas Tanpa Izin).
Karenanya, Distamben Kalbar akan membentuk dan menerjunkan tim investigasi. Wiro Pranata juga memastikan dari hasil investigasi yang dilakukan timnya, akan membuahkan hasil dan cukong besar di balik aktifitas peti, terutama di Goa Boma, dapat terbongkar.
Terkait maraknya peti di Kalbar, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Barat mengklaim bahwa pihaknya telah menyurati seluruh kepala dinas 14 kabupaten/kota untuk melakukan pendataan terhadap aktivitas Penambangan Tanpa Izin (PETI). Namun sampai saat ini surat pendataan itu tidak digubris.
Wiro Pranata menambahkan, surat edaran bernomor 540/358/Distamben.A-3 yang dimaksud telah dikirimkan ke daerah sejak pertengahan 2014 dan hingga akhir tahun, belum juga mendapatkan tanggapan.
Menurutnya, hingga akhir 2014, dari data yang masuk ke Distamben, jumlah perusahaan pertambangan yang beraktivitas di Kalbar sebanyak 813 perusahaan. Namun 11 diantaranya dihentikan. “Kalau yang resmi ini terkontrol dan mudah kami melakukan penindakan jika memang terdapat kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam aktifitasnya, seperti yang terjadi pada PT Megah Permata Karya Sukses di Kecamatan Capkala Kabupaten Bengkayang, satu pekerjanya tewas, kami pun langsung menutup perusahaan,” katanya.
Akan tetapi, tambahnya, data tersebut pasti berbeda dengan peti yang aktivitasnya sembunyi-sembunyi dan kerap berpindah. [] Lukman Hakim/Rachmat Effendi/Ist