Gaza Terancam Konflik Lagi, Mesir Salahkan Trump

Gaza Terancam Konflik Lagi, Mesir Salahkan Trump

JAKARTA – Mesir memperingatkan bahwa pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait relokasi warga Palestina dari Gaza dapat membahayakan proses gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang sedang berlangsung. Selain itu, dukungan Israel terhadap rencana tersebut juga dinilai berpotensi memperburuk situasi di wilayah konflik tersebut.

Kementerian Luar Negeri Mesir menyoroti pernyataan sejumlah pejabat Israel yang mendukung usulan Trump. Mereka menegaskan bahwa langkah ini bisa melemahkan negosiasi gencatan senjata dan memicu kembalinya pertempuran antara kedua pihak.

“Pernyataan ini berpotensi menghancurkan kesepakatan gencatan senjata yang telah diupayakan dan dapat memicu kembali eskalasi konflik,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir pada Kamis (6/2/2025).

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, sebelumnya telah menginstruksikan militer untuk merancang rencana pemindahan warga Palestina dari Gaza. Instruksi ini muncul sehari setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut baik gagasan Trump, yang ia sebut sebagai usulan yang “luar biasa.”

Mesir dengan tegas menolak segala upaya yang bertujuan untuk mengusir warga Palestina dari Gaza. Pemerintah Mesir menegaskan bahwa mereka tidak akan menjadi bagian dari rencana tersebut dan menekankan bahwa setiap tindakan pengusiran warga Palestina harus dipertanggungjawabkan.

“Pernyataan dari beberapa pejabat pemerintah Israel mengenai rencana pengusiran ini harus mendapat perhatian serius dan harus ada akuntabilitas terhadap konsekuensinya,” lanjut pernyataan dari pemerintah Mesir.

Mesir juga menegaskan bahwa gencatan senjata yang sedang dinegosiasikan harus diterapkan dalam tiga tahap dan menjadi solusi permanen bagi konflik yang telah berlangsung lama.

Sebagai mediator utama dalam perundingan gencatan senjata, Qatar juga menanggapi usulan Trump dengan berhati-hati. Pemerintah Qatar menilai masih terlalu dini untuk membicarakan kemungkinan relokasi warga Palestina, terutama mengingat trauma mendalam yang mereka alami akibat konflik ini.

“Kami memahami bahwa ada luka mendalam di kalangan rakyat Palestina terkait pengungsian. Namun, saat ini belum waktunya untuk membahas hal tersebut karena perang masih berlangsung,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al-Ansari, dalam wawancara dengan Fox News, Rabu (5/2/2025).

Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan penolakannya terhadap usulan Trump yang ingin mengambil alih Jalur Gaza. Dalam pernyataan resminya, Abbas menegaskan bahwa hak-hak rakyat Palestina tidak dapat dinegosiasikan.

“Jalur Gaza adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Palestina,” ujar Abbas melalui juru bicaranya, Nabil Abu Rudeina, dalam siaran televisi publik Palestina.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) juga mengecam rencana relokasi tersebut, menyebutnya sebagai upaya pengusiran paksa terhadap rakyat Palestina dari tanah air mereka.

Rencana Trump untuk “mengambil alih” Jalur Gaza juga menuai kecaman dari berbagai pihak. Di PBB, utusan Palestina Riyad Mansour menekankan bahwa rakyat Palestina berhak untuk tetap tinggal di tanah mereka dan menolak segala bentuk relokasi paksa.

“Tanah air kami adalah tanah kami. Jika sebagian telah hancur, maka rakyat Gaza akan memilih untuk kembali ke sana, bukan pergi ke tempat lain,” ujar Mansour.

Sementara itu, pertemuan antara Trump dan Netanyahu di Gedung Putih semakin memicu kontroversi. Dalam konferensi pers setelah pertemuan tersebut, Trump menyatakan bahwa ia ingin “mengembangkan Gaza” sehingga bisa menjadi wilayah yang lebih baik bagi pengungsi Palestina.

Namun, banyak pihak menilai pernyataan tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan pembersihan etnis. Anggota Kongres AS, Rashida Tlaib, secara terbuka mengecam Trump dan menuduhnya mendukung pengusiran massal rakyat Palestina.

Perang Gaza dan Dampaknya

Konflik di Gaza kembali meletus setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang mengakibatkan kematian 1.210 orang di pihak Israel. Sebagai respons, Israel melancarkan serangan balasan yang menewaskan lebih dari 47.000 warga Palestina, sebagian besar adalah warga sipil, menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza.

Serangan udara Israel telah menghancurkan banyak infrastruktur penting di Gaza, termasuk rumah sakit, sekolah, dan perumahan. Data PBB menunjukkan bahwa lebih dari 1,9 juta warga—sekitar 90 persen populasi Gaza—telah mengungsi akibat serangan tersebut.

Gencatan senjata yang disepakati pada 19 Januari 2025 memberikan sedikit harapan bagi warga Gaza untuk kembali ke rumah mereka. Namun, sebagian besar dari mereka hanya menemukan puing-puing akibat serangan yang telah meratakan banyak bangunan di wilayah tersebut.

Usulan Trump untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi warganya semakin memperkeruh situasi yang sudah genting. Sejumlah negara, termasuk Mesir, Qatar, dan Arab Saudi, menegaskan dukungan mereka terhadap solusi dua negara dan menolak segala bentuk pengusiran warga Palestina dari tanah mereka.

Meskipun tekanan internasional terus meningkat, Israel tetap melanjutkan operasi militernya di Gaza, sementara Hamas bersikeras mempertahankan posisinya. Hingga saat ini, masa depan Jalur Gaza masih penuh ketidakpastian, dengan rakyat Palestina yang terus menghadapi ancaman pengusiran dan pertempuran yang belum berakhir.[]

Putri Aulia Maharani

Nasional