BEIRUT – Militer Lebanon mengklaim telah menemukan perangkat mata-mata milik Israel yang dipasang di sepanjang perbatasan kedua negara. Peralatan tersebut, terdiri dari sensor dan kamera pengintai, ditemukan tersembunyi di balik pohon dan bebatuan oleh pasukan khusus Lebanon saat melakukan survei teknik di wilayah Lebanon Selatan.
Menurut laporan Anadolu Agency, perangkat pengawasan itu dirancang sedemikian rupa agar tidak mudah terdeteksi. Setelah berhasil diidentifikasi, pasukan militer Lebanon segera membongkar dan mengamankan peralatan tersebut.
Ketegangan Berlanjut Meski Gencatan Senjata
Penemuan alat mata-mata ini menambah daftar panjang ketegangan antara Israel dan kelompok Hizbullah, meskipun kedua pihak telah menyetujui gencatan senjata. Kendati demikian, kedua belah pihak masih terus saling memantau aktivitas masing-masing.
Pada Minggu lalu, saat prosesi pemakaman mantan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, sebuah drone terpantau berputar-putar di atas langit Beirut. Hizbullah mengklaim drone tersebut bukan milik Israel, tetapi tak lama setelah itu, empat jet tempur Israel terbang rendah di atas kerumunan pelayat.
Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa penerbangan jet tempur tersebut merupakan peringatan terbuka bagi siapa pun yang berani mengancam keamanan negaranya. Namun, tindakan itu mendapat kecaman dari Iran dan Lebanon. Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, menegaskan bahwa Israel telah melanggar kedaulatan Lebanon dan tindakan tersebut tidak dapat dibiarkan.
“Saya menyaksikan sendiri bagaimana jet-jet tempur Israel melanggar kedaulatan Lebanon, terbang di atas kepala kami dalam upaya menakut-nakuti warga yang sedang berkabung,” ujar Araghchi seperti dikutip oleh Iran International.
Sementara itu, militer Israel juga merilis video serangan udara yang menewaskan Nasrallah dan beberapa komandan Hizbullah lainnya pada 27 September 2024. Serangan tersebut menargetkan markas bawah tanah Hizbullah di Beirut.
Israel Enggan Menarik Pasukan dari Lebanon
Dalam perjanjian gencatan senjata yang ditandatangani pada 26 Januari 2025, Israel diharuskan menarik pasukannya dari wilayah Lebanon. Namun, Amerika Serikat memperpanjang batas waktu hingga 18 Februari. Hingga kini, Israel masih menolak untuk sepenuhnya mundur dan tetap bertahan di lima titik strategis, yakni al-Aziyah, al-Awaida, el-Hamames, Jabal Bilat, dan Labbouneh.
Pemerintah Lebanon mengecam keputusan Israel yang tetap menempatkan pasukannya di wilayah mereka. Menurut Lebanon, tindakan Israel merupakan pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata.
Namun, Israel berdalih bahwa keberadaan mereka hanya bersifat sementara. Mereka mengklaim tidak akan menarik pasukan sampai tentara Lebanon sepenuhnya memenuhi komitmen untuk mengamankan wilayah perbatasan.
Lebih dari Seribu Pelanggaran Gencatan Senjata
Gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah mulai berlaku sejak 27 November 2024, mengakhiri konflik lintas perbatasan yang berlangsung selama berbulan-bulan. Sebagai bagian dari kesepakatan, Hizbullah harus menarik diri ke arah Sungai Litani, sementara Israel juga diharuskan mundur dari Lebanon Selatan.
Namun, Lebanon mencatat lebih dari seribu pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan oleh Israel. Pelanggaran tersebut menyebabkan sedikitnya 83 korban tewas dan 280 lainnya mengalami luka-luka. Hingga kini, Israel masih menolak untuk sepenuhnya mematuhi perjanjian tersebut, sehingga situasi keamanan di perbatasan kedua negara tetap tegang.
Pemerintah Lebanon dan Hizbullah terus memantau pergerakan Israel di perbatasan. Meski gencatan senjata masih berlaku, potensi konflik baru tetap tinggi mengingat aksi saling intai yang terus berlanjut.[]
Putri Aulia Maharani