DPR Desak Penghentian Kekerasan di Myanmar, Banyak Mendukung

DPR Desak Penghentian Kekerasan di Myanmar, Banyak Mendukung

JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyuarakan kecaman keras terhadap tindakan kekerasan yang terus dilakukan oleh junta militer Myanmar, terutama pasca bencana gempa bumi berkekuatan 7,7 Skala Richter yang mengguncang negara tersebut. Kecaman ini disampaikan dalam forum internasional Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) ke-150 yang berlangsung di Tashkent, Uzbekistan, pada 5-9 April 2025.

Menurut Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Irine Yusiana Roba Putri, desakan untuk menghentikan kekerasan disampaikan dalam rapat grup geopolitik ASEAN+3, yang menjadi bagian dari pembukaan Sidang Umum IPU.

“Kami mendesak junta militer Myanmar untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap warga sipil, terlebih di saat masyarakat sedang berusaha bertahan dari dampak gempa,” tegas Irine, Senin (7/4/2025).

DPR RI bersama dengan parlemen dari Thailand, Laos, Filipina, dan Malaysia menginisiasi sebuah resolusi darurat (emergency item) berjudul “Parliamentary Diplomacy to Promote Peace and Address the Humanitarian Crisis in Myanmar”. Inisiatif ini mendapatkan dukungan signifikan dari grup geopolitik Asia Pasifik, bahkan dengan bergabungnya Kanada sebagai co-sponsor, memperkuat legitimasi internasional atas desakan tersebut.

Pengamat Hubungan Internasional dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas, menilai langkah DPR RI ini sebagai bentuk komitmen nyata diplomasi parlemen Indonesia dalam menanggapi krisis kemanusiaan di kawasan.

“Inisiasi DPR ini tentu saja patut diapresiasi karena bagaimanapun juga tekanan terhadap pemerintah junta Myanmar harus tetap dilakukan. Apalagi, pemerintah Myanmar seakan bebal dan tidak peduli terhadap keselamatan warganya yang terdampak gempa bumi,” ujar Anton pada Selasa (8/4/2025).

Anton juga mendorong agar DPR RI tidak berhenti di forum IPU saja, tetapi terus melanjutkan desakan ini melalui forum regional lainnya seperti AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly). Menurutnya, parlemen negara-negara ASEAN, khususnya Thailand dan Malaysia, yang memiliki investasi besar di Myanmar, dapat dimaksimalkan untuk menekan junta melalui jalur ekonomi dan diplomatik.

“Dengan begitu, tekanan terhadap junta tidak hanya datang dari parlemen, tetapi juga dari negara-negara yang berkepentingan secara strategis dan ekonomi terhadap Myanmar,” imbuh Anton.

Sejak kudeta militer yang terjadi pada Februari 2021, Myanmar dilanda krisis kemanusiaan berkepanjangan. Ratusan ribu warga mengungsi, ribuan lainnya menjadi korban kekerasan dan penindasan. Situasi semakin memburuk setelah gempa bumi besar mengguncang negara tersebut, menyebabkan lebih dari 3.600 korban jiwa, menurut data terbaru.

Sayangnya, di tengah krisis ini, junta militer Myanmar tidak menunjukkan itikad baik untuk menghentikan kekerasan, bahkan dinilai mengabaikan penderitaan rakyatnya. Inilah yang kemudian menjadi dasar desakan DPR RI dalam forum IPU agar dunia internasional tidak tinggal diam.

Langkah DPR RI di Sidang IPU menunjukkan bahwa diplomasi parlemen bukan hanya pelengkap dari diplomasi antarnegara, tetapi dapat menjadi alat efektif dalam membangun tekanan moral dan politik secara global. Resolusi yang didorong DPR bersama negara ASEAN lainnya menjadi sinyal kuat bahwa dunia menaruh perhatian besar terhadap tragedi kemanusiaan di Myanmar.

“Melalui resolusi ini, kita ingin menunjukkan bahwa komunitas internasional, terutama negara-negara di kawasan, tidak akan membiarkan pelanggaran HAM terus terjadi tanpa tindakan nyata,” tutup Irine.[]

Putri aulia maharani

Nasional