JAKARTA – Harga minyak mentah Amerika Serikat mengalami penurunan tajam pada Rabu, 9 April 2025, setelah Tiongkok secara resmi mengumumkan tarif balasan terhadap Amerika Serikat. Langkah tersebut merupakan respons langsung atas kebijakan Presiden Donald Trump yang mulai menerapkan pungutan besar-besaran terhadap barang-barang asal Tiongkok.
Harga minyak mentah acuan AS tercatat turun sebesar US$ 1,83 per barel atau sekitar 3,07%, sehingga berada di angka US$ 57,75 per barel pada pukul 09:41 waktu ET. Sementara itu, harga minyak mentah Brent sebagai acuan global juga mengalami penurunan sebesar US$ 1,93 per barel atau 3,07%, dan ditutup pada level US$ 60,89 per barel.
Penurunan harga minyak terjadi lebih awal dalam sesi perdagangan setelah pengumuman tarif sebesar 84% oleh pemerintah Tiongkok atas sejumlah barang asal AS. Tarif ini akan mulai diberlakukan pada tanggal 10 April 2025. Sebagai dampaknya, pasar merespons dengan kekhawatiran bahwa konflik dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia ini akan semakin dalam, dan bahkan bisa menyeret ekonomi global ke dalam resesi yang dalam. Hal ini tentu akan berdampak pada menurunnya permintaan global terhadap minyak mentah.
Kekhawatiran investor semakin diperkuat dengan keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) yang berencana mempercepat produksi mulai bulan Mei. Langkah ini diprediksi akan memperbesar pasokan minyak di tengah pasar yang sudah mengalami kelebihan pasokan (surplus), sehingga menambah tekanan terhadap harga minyak global.
Helima Croft, Kepala Strategi Komoditas Global di RBC Capital Markets, menyebut bahwa kombinasi antara kekhawatiran akan resesi global dan meningkatnya pasokan minyak merupakan situasi yang sangat rumit dan dapat berdampak negatif secara luas terhadap stabilitas harga. Ia menyebut kondisi ini sebagai “campuran yang beracun” bagi pasar minyak.
Di sisi lain, dinamika geopolitik juga turut mempengaruhi pergerakan harga minyak. Amerika Serikat dan Iran dilaporkan sedang melakukan pembicaraan penting di Oman pada Sabtu, 5 April lalu, yang membahas program nuklir Iran. Jika negosiasi tersebut berhasil dan menghasilkan kesepakatan, maka kemungkinan besar akan terjadi peningkatan ekspor minyak dari Iran ke pasar global, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi surplus pasokan minyak saat ini.
Situasi ini menunjukkan betapa sensitifnya pasar energi terhadap dinamika politik dan kebijakan internasional. Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok, ditambah dengan potensi kembalinya minyak Iran ke pasar dunia, menciptakan ketidakpastian besar yang saat ini terus membayangi industri minyak global.