JAKARTA – Masalah stunting masih menjadi isu nasional yang serius di Indonesia karena menyangkut pemenuhan hak dasar anak, termasuk hak atas kesehatan dan pertumbuhan optimal. Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), setiap anak berhak mendapatkan pemenuhan gizi yang memadai agar dapat tumbuh dan berkembang secara sehat.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2023 tercatat 1.800 kasus perlindungan anak, terdiri atas 1.237 kasus (68,7%) kategori Pemenuhan Hak Anak (PHA), termasuk masalah stunting, dan 563 kasus (31,3%) Perlindungan Khusus Anak (PKA). Sementara pada 2024, jumlah kasus meningkat menjadi 2.057, dengan PHA sebanyak 1.378 kasus (67%) dan PKA sebanyak 679 kasus (33%).
Menurut Kementerian Kesehatan, stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan. Anak stunting ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan standar usianya, yang sering kali disebabkan oleh faktor gizi dan pola pengasuhan yang kurang tepat.Meski tren stunting menunjukkan penurunan, prevalensinya masih berada di angka 21,5% pada 2023, jauh dari target nasional sebesar 14% pada 2024.
Rumah Anak SIGAP di Desa Sokawera
Upaya nyata dalam menangani stunting terlihat dari Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di desa yang terletak di ketinggian 1.099 mdpl ini, jumlah anak stunting pada akhir 2023 tercatat sebanyak 84 dari 388 balita. Angka ini menjadikan Sokawera sebagai salah satu desa dengan kasus stunting tertinggi di wilayahnya.
Kepala Desa Sokawera, Mukhayat, menjelaskan bahwa penyebab utama stunting di wilayahnya antara lain pola makan tidak sehat dan minimnya konsumsi protein hewani. Untuk mengatasi hal ini, Tanoto Foundation bekerja sama dengan pemerintah desa mendirikan Rumah Anak SIGAP sebagai pusat pengasuhan dan edukasi bagi orang tua.
Koordinator Rumah Anak SIGAP, Ani, menyatakan bahwa fokus utama mereka adalah mendampingi ibu hamil serta ibu dengan anak usia 0-3 tahun untuk menerapkan pola asuh, makan, dan hidup sehat. Program ini meliputi pemberian informasi seputar ASI eksklusif, MPASI bergizi, imunisasi, hingga pentingnya vitamin A dan pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin.
Upaya ini mendapat apresiasi dari Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Banyumas, dr. Novita Sabjan, yang menyebut bahwa pendekatan berbasis pola asuh sangat penting karena berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup anak.
Perjuangan Bidan Dini di NTT
Cerita lain datang dari pelosok Desa Uzuzozo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Di desa yang dikelilingi hutan dan perbukitan ini, Bidan Theresia Dwiaudina, atau yang akrab disapa Dini, menjadi satu-satunya tenaga kesehatan selama tujuh tahun.
Dini harus menghadapi tantangan geografis, keterbatasan fasilitas medis, serta berbagai mitos yang beredar di masyarakat. Salah satunya adalah kepercayaan bahwa kehamilan tidak boleh diumumkan secara luas. Hal ini menyulitkan pemantauan kesehatan ibu dan janin.
Dengan gigih, Dini melakukan pendekatan berbasis budaya dan pendidikan melalui kegiatan posyandu. Ia juga aktif menyosialisasikan pentingnya imunisasi, gizi seimbang, serta pemberian tablet tambah darah kepada remaja. Hasilnya, jumlah anak stunting di desa tersebut menurun drastis dari 15 menjadi hanya tiga anak pada 2019.
Selain itu, Dini juga berhasil mengubah kebiasaan masyarakat. Kini tidak ada lagi ibu yang melahirkan di rumah atau orang tua yang menolak imunisasi bagi anak mereka. Dana desa turut mendukung program kesehatan dengan menyediakan makanan sehat dan mendirikan poskesdes.
Stunting dan Masa Depan Bangsa
Dokter spesialis anak RS Kasih Ibu Solo, dr. Ardi Santoso, menegaskan bahwa stunting memiliki dampak luas, tidak hanya pada pertumbuhan fisik anak tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas, dan risiko penyakit kronis di masa depan.
Menurutnya, faktor penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi jangka panjang yang kerap tak disadari, serta infeksi berulang, pola asuh buruk, dan sanitasi tidak layak. Ia menekankan pentingnya 1.000 hari pertama kehidupan sebagai masa krusial dalam pencegahan stunting.
“Stunting tidak hanya berdampak pada individu, tapi juga pada kualitas generasi masa depan dan produktivitas bangsa,” ujar dr. Ardi, Kamis (10/4/2025).Ia juga mengingatkan agar orang tua rutin memantau tumbuh kembang anak, memberi ASI eksklusif, memperhatikan gizi selama kehamilan, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Kasus stunting di Indonesia mencerminkan perlunya sinergi dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, dan lembaga swadaya masyarakat. Upaya seperti yang dilakukan di Desa Sokawera dan Desa Uzuzozo menjadi contoh nyata bahwa perubahan bisa terjadi jika ada komitmen, edukasi yang berkelanjutan, serta intervensi yang tepat sasaran. Demi masa depan generasi yang lebih sehat, perjuangan ini harus terus dilanjutkan.[]
Putri Aulia Maharani