Apakah Haji Wajib Bisa Ditunda bagi yang Mampu?

Apakah Haji Wajib Bisa Ditunda bagi yang Mampu?

JAKARTA – Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang kelima, yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat kemampuan secara fisik, finansial, dan perjalanan. Kewajiban melaksanakan haji berdasarkan perintah Allah SWT dapat ditemukan dalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran ayat 97, yang artinya: “Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”

Hukum pelaksanaan ibadah haji, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama, adalah fardhu ‘ain bagi setiap individu yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Oleh karena itu, mengingkari kewajiban haji dianggap sebagai mengingkari agama Islam itu sendiri. Meskipun demikian, ada perdebatan di kalangan para ulama mengenai apakah ibadah haji yang sudah mampu dilaksanakan dapat ditunda. Berikut adalah penjelasan mengenai perbedaan pandangan ulama terkait masalah ini, yang dirangkum dari buku Seri Fiqih Kehidupan 6 karya Ahmad Sarwat, Lc.

1. Haji Harus Segera Dilaksanakan (al-Wujubu ‘Ala al-Fauri)

Beberapa ulama berpendapat bahwa ibadah haji harus segera dilaksanakan setelah seseorang memenuhi syarat wajib, dan tidak boleh ditunda-tunda. Pandangan ini dikenal dengan istilah al-wujubu ‘ala al-fauri. Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, dalam riwayat yang lebih shahih, sepakat bahwa melaksanakan haji segera begitu syarat sah terpenuhi adalah kewajiban yang harus dipenuhi tanpa penundaan. Dalam pandangan mereka, menunda pelaksanaan haji adalah dosa yang harus dihindari, dan jika akhirnya dilaksanakan setelah penundaan, maka ibadah tersebut menjadi haji qadha’ (ganti), namun dosa tersebut tetap terangkat.

Dalil yang sering digunakan untuk mendasari pendapat ini adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmizy: “Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang bisa membawanya melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, tetapi tidak melaksanakannya, maka jangan menyesal kalau mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.” Hadis ini menegaskan pentingnya untuk segera melaksanakan haji bagi mereka yang telah mampu.

2. Haji Boleh Ditunda (al-Wujubu ‘Ala at-Tarakhi)

Namun, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa kewajiban untuk melaksanakan haji dapat ditunda sampai waktu tertentu, meskipun semua syarat sudah terpenuhi. Pendapat ini dikenal dengan istilah al-wujubu ‘ala at-tarakhi. Menurut pandangan ini, melaksanakan haji pada waktu yang lebih cepat memang disarankan, tetapi jika seseorang menunda pelaksanaannya dengan niat yang kuat untuk melaksanakannya di kemudian hari, maka tidak ada dosa yang melekat padanya. Tetapi, jika penundaan tersebut disebabkan oleh keraguan atau ketakutan akan kehilangan harta atau jatuh sakit, maka penundaan menjadi haram.

Pendapat ini juga didukung oleh kenyataan sejarah, di mana Rasulullah SAW dan lebih dari 124.000 sahabat menunda pelaksanaan haji meskipun mereka sudah sangat mampu untuk melaksanakannya. Ibadah haji diwajibkan pada tahun keenam Hijriah, namun Rasulullah SAW baru melaksanakan haji pada tahun kesepuluh Hijriah, setelah empat tahun penundaan. Jika penundaan dianggap sebagai dosa atau berisiko membuat seseorang mati dalam keadaan seperti Yahudi atau Nasrani, maka Rasulullah SAW dan para sahabatnya tentu menjadi yang paling berdosa. Padahal, mereka adalah teladan bagi umat Islam. Oleh karena itu, penundaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat menegaskan bahwa haji bukan ibadah yang wajib dilaksanakan segera.

Hal ini juga dijelaskan dalam Al-Umm jilid 2 dan Raudhatut-talib jilid 2 yang mengungkapkan bahwa Rasulullah SAW menunda pelaksanaan haji, dan penundaan tersebut tidak dianggap sebagai dosa.[]

Putri Aulia Maharani

Nasional