PALANGKA RAYA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi lingkungan di provinsi tersebut. Berdasarkan kajian yang mereka lakukan, sebanyak 68 persen luas wilayah Kalimantan Tengah telah dimanfaatkan untuk industri ekstraktif berskala besar berbasis sumber daya alam (SDA).
Kondisi ini dinilai memicu kerusakan lingkungan yang semakin parah dari tahun ke tahun, terutama akibat deforestasi yang makin masif. Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herinata, mengungkapkan bahwa temuan tersebut diperoleh dari desk study dan pemantauan terhadap aktivitas 14 perusahaan yang beroperasi di enam kabupaten.
“Kami ingin memperbarui situasi tata kelola SDA dan lingkungan di Kalteng, baseline pendataan menggunakan data yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiri. Kami amati sampai dengan beberapa waktu terakhir, luas perizinan di Kalteng sudah cukup besar dari ketiga sektor usaha tersebut,” ujar Bayu Senin (05/05/2025).
Empat belas perusahaan yang dimaksud terdiri dari lima perusahaan perkebunan kelapa sawit, lima perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), dan empat perusahaan pertambangan batu bara. Menurut Bayu, dominasi ketiga sektor itu telah membawa Kalimantan Tengah ke dalam kondisi yang ia sebut sebagai “krisis ekologis”.
Bayu menjelaskan, tutupan hutan terus menyusut sehingga fungsi lingkungan dalam mendukung daya tampung dan daya dukung kawasan makin berkurang. Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan terhadap standar lingkungan.
“Di sektor perkebunan sawit, banyak izin-izin yang dikeluarkan masuk dalam kawasan hutan, dalam aspek tata kelola itu tidak memenuhi,” ujarnya.
Tak hanya itu, Bayu juga menyebut bahwa izin lokasi untuk HTI di Kalimantan Tengah banyak yang justru berada di atas hutan alam, termasuk kawasan hutan primer dan sekunder yang seharusnya dilindungi. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan prinsip dasar pembangunan HTI yang semestinya dilakukan di lahan kritis atau kawasan yang sudah tidak berhutan lagi.
“Kalau ini tetap dilanjutkan, maka potensi deforestasinya akan tinggi dan akumulasinya pasti akan menyebabkan kerusakan hingga pencemaran lingkungan,” tutur Bayu.
Kondisi ini diperparah oleh maraknya aktivitas perkebunan sawit ilegal di atas kawasan hutan. Kalimantan Tengah bahkan menempati peringkat kedua di Indonesia dalam hal luas kebun sawit ilegal, yang menyebabkan dibentuknya Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH).
Bayu menegaskan pentingnya evaluasi terhadap tata kelola SDA yang lebih berkeadilan, sekaligus mendesak agar pemerintah tidak lagi mengabaikan daya rusak dari ekspansi industri skala besar terhadap hutan dan masyarakat lokal di sekitarnya. []
Diyan Febriana Citra.