JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal I tahun 2025 pada siang ini, Senin (5/5/2025). Berdasarkan konsensus pasar yang dikumpulkan dari 14 lembaga oleh CNBC Indonesia, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mencapai 4,94% secara tahunan (year-on-year/yoy), dan mengalami kontraksi sebesar 0,9% dibanding kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq).
Pelemahan ini mencerminkan berbagai tekanan domestik dan global, salah satunya ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan proteksionis dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan terhadap negara-negara mitra dagang berdampak pada kegiatan ekspor dan impor Indonesia.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyatakan bahwa pelemahan konsumsi masyarakat menjadi penyebab utama pertumbuhan ekonomi yang melambat. Ia memperkirakan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya akan mencapai 4,9%, lebih rendah dibanding tahun lalu. Fenomena ini menunjukkan adanya kecenderungan masyarakat untuk lebih banyak menabung dan mengurangi belanja, terutama menjelang Ramadan dan Idulfitri.
Selain konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah pada kuartal pertama 2025 juga diproyeksikan turun menjadi 3,3% yoy, dari sebelumnya 4,3% pada kuartal IV-2024. Penundaan pencairan anggaran, terutama untuk proyek infrastruktur, turut menekan pertumbuhan investasi yang diperkirakan hanya tumbuh 1,7%, dibandingkan 4,9% pada akhir tahun lalu.
Situasi ini turut tercermin dalam indeks aktivitas manufaktur Indonesia. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) dari S&P Global menunjukkan PMI Indonesia turun ke level 46,7 pada April 2025—angka terendah sejak Agustus 2021 dan menandakan sektor manufaktur mengalami kontraksi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebut bahwa penurunan PMI disebabkan melemahnya optimisme pelaku usaha akibat tensi perang dagang global. Pemerintah, menurut Airlangga, tengah berupaya mendiversifikasi pasar ekspor Indonesia melalui percepatan perjanjian dagang seperti IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement).
Di sisi lain, sektor perhotelan juga tengah mengalami tekanan hebat. Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menyatakan bahwa banyak hotel terpaksa mengurangi tenaga kerja seiring menurunnya permintaan, terutama dari kegiatan pemerintah. Hotel-hotel yang bergantung pada sektor MICE (meetings, incentives, conventions, and exhibitions) menjadi yang paling terdampak.
Di bidang konsumsi, data dari Bank Indonesia menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah tabungan perorangan selama Maret 2025, menembus Rp2.574,2 triliun. Namun, pertumbuhan ini dipandang sebagai anomali, karena biasanya masyarakat cenderung meningkatkan belanja selama Ramadan. Fenomena ini diduga menunjukkan peningkatan kehati-hatian masyarakat dalam membelanjakan uangnya.
Sementara itu, aktivitas perdagangan ritel juga dilaporkan menurun. Beberapa pedagang di pusat grosir seperti Mangga Dua mengeluhkan penurunan penjualan yang bahkan disebut lebih parah dibanding masa pandemi. Efisiensi anggaran pemerintah dan menurunnya arus kunjungan dinas dari daerah turut memperburuk kondisi.
Deflasi yang terjadi dua bulan berturut-turut pada awal 2025 juga menjadi perhatian. BPS mencatat deflasi sebesar 0,76% pada Januari dan 0,48% pada Februari. Kepala BPS, Amalia Adininggar, menjelaskan bahwa deflasi ini bukan karena penurunan daya beli, melainkan akibat kebijakan diskon tarif listrik pemerintah.
Tekanan ekonomi juga terlihat dari sektor otomotif. Penjualan mobil nasional pada Maret 2025 turun 1,99% dari bulan sebelumnya, dan secara tahunan anjlok 5,12%. Pengamat otomotif, Yannes Pasaribu, menilai penurunan ini mencerminkan pengetatan pengeluaran oleh masyarakat, terutama kelas menengah, di tengah ketidakpastian ekonomi dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Secara keseluruhan, kondisi ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 menunjukkan tren pelemahan yang perlu diantisipasi serius oleh seluruh pemangku kebijakan. Kombinasi dari tekanan global, konsumsi domestik yang melemah, dan perlambatan investasi menjadi tantangan yang harus dijawab dengan strategi fiskal dan moneter yang lebih adaptif serta responsif.[]
Putri Aulia Maharani