JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi kritik terkait kurangnya transparansi dalam proses verifikasi ijazah calon peserta Pemilu. Ahli hukum pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai bahwa masalah utama bukan hanya keterbatasan waktu, tetapi juga kurangnya keterbukaan dan akuntabilitas dalam mengelola proses pencalonan. Ia menyoroti ketertutupan akses publik terhadap dokumen-dokumen persyaratan, seperti ijazah, yang menghambat partisipasi masyarakat dalam memastikan keaslian dan validitas dokumen tersebut.
“Persoalan utamanya bukan pada kurangnya waktu untuk melakukan verifikasi dan validasi kebenaran persyaratan yang diajukan oleh pasangan calon. Melainkan pada kurangnya keterbukaan, transparansi, akuntabilitas dalam mengelola proses pencalonan,” ujar Titi kepada wartawan, Sabtu (10/05/2025).
Titi juga mengkritik alasan KPU yang sering berdalih soal perlindungan data pribadi calon tanpa mempertimbangkan pentingnya partisipasi publik dalam proses verifikasi. Menurutnya, KPU seharusnya dapat bekerja secara terbuka dan profesional, serta memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memastikan integritas proses pencalonan.
Sebelumnya, Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, mengakui adanya keterbatasan waktu dalam memverifikasi keaslian ijazah calon kepala daerah. Ia menyebutkan bahwa proses verifikasi yang sangat mepet membuat KPU kesulitan untuk memastikan keaslian dokumen tersebut. Selain itu, KPU juga terkendala oleh kewenangan yang terbatas untuk menyatakan suatu ijazah palsu tanpa adanya keputusan dari lembaga yang berwenang.
Kasus-kasus ijazah palsu yang terungkap, seperti yang terjadi di Kabupaten Pesawaran, Gorontalo Utara, dan Kota Palopo, menunjukkan bahwa masalah ini bukan hal baru dalam penyelenggaraan Pemilu. Titi Anggraini menekankan pentingnya KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk lebih proaktif dalam menindaklanjuti informasi terkait dugaan ijazah palsu dan tidak hanya mengandalkan laporan resmi dari masyarakat.
Sebagai langkah perbaikan, Titi menyarankan agar KPU meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait, seperti dinas pendidikan, dan membuka akses informasi kepada publik untuk memastikan proses verifikasi berjalan transparan dan akuntabel. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap integritas Pemilu dapat terjaga. []
Diyan Febriana Citra.