JAKARTA – Arab Saudi kembali menjadi pusat perhatian dunia internasional setelah melaksanakan eksekusi terhadap jurnalis Turki al-Jasser. Al-Jasser dituduh melakukan pengkhianatan tingkat tinggi terhadap negara. Langkah ini menjadi kasus eksekusi terhadap jurnalis pertama yang dilakukan pemerintah Saudi sejak terbunuhnya Jamal Khashoggi pada 2018.
Mengutip laporan The Guardian, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mengonfirmasi bahwa al-Jasser dieksekusi pada Sabtu lalu di Riyadh. Ia dituduh menjalin kerja sama dengan pihak asing yang dianggap membahayakan keamanan nasional. Al-Jasser sebelumnya telah ditahan sejak tahun 2018 dan selama masa penahanannya, ia diduga mengalami penyiksaan.
Abdullah Alaoudh, Direktur Middle East Democracy Center, menyebut bahwa al-Jasser dikenal memiliki dua akun Twitter. “Turki memiliki dua akun Twitter… akun anonimnya lebih vokal dan menyindir, dan itulah yang menjadi sasaran pemerintah Saudi,” kata Alaoudh.
Turki al-Jasser diyakini sebagai pengelola akun anonim yang kerap mengkritik pemerintah Arab Saudi, terutama keluarga kerajaan. Di sisi lain, ia dikenal publik sebagai pendiri blog Al-Mashhad Al-Saudi, sebuah laman yang banyak membahas isu-isu hak asasi manusia, hak perempuan, serta situasi di Palestina. Namun, aktivitasnya di media sosial ditengarai menjadi alasan utama penangkapannya.
Eksekusi terhadap al-Jasser menuai reaksi keras dari berbagai organisasi hak asasi manusia. Sarah Leah Whitson, Direktur Eksekutif kelompok advokasi HAM DAWN, menyebut eksekusi tersebut sebagai bentuk nyata otoritarianisme Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS). “Dia menjadikan pengadilan Saudi sebagai senjata untuk mengeksekusi seseorang hanya karena kritik di media sosial,” tegas Whitson. Ia menambahkan, “Sulit mereformasi seorang otokrat sosiopat tanpa pagar pembatas domestik.”
Kasus ini juga membuka kembali luka lama mengenai keterlibatan pemerintah Arab Saudi dalam penyusupan ke media sosial. Pada 2014 hingga 2015, agen pemerintah Saudi dilaporkan berhasil menyusup ke dalam sistem Twitter, memungkinkan mereka melacak identitas ribuan pengguna anonim yang kritis terhadap pemerintah, termasuk al-Jasser. Salah satu korban lain dari operasi tersebut adalah Abdulrahman al-Sadhan, yang dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun karena mengelola akun yang dianggap menghina keluarga kerajaan.
Kekerasan terhadap al-Sadhan turut diungkap oleh saudara perempuannya, Areej al-Sadhan. “Mereka mematahkan tangannya, meremukkan jari-jarinya, sambil mengatakan: ini tangan yang Anda gunakan untuk berkicau,” ungkapnya.
Meskipun Mohammed bin Salman sempat menyatakan komitmennya untuk memperbaiki sistem hukum di negaranya, para pengamat menekankan bahwa setiap pelaksanaan hukuman mati tetap harus melalui persetujuannya. Hal ini berarti bahwa eksekusi al-Jasser dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan langsung dari putra mahkota sekaligus penguasa de facto negara tersebut.
Peristiwa ini mengingatkan dunia pada tragedi pembunuhan Jamal Khashoggi, jurnalis dan kolumnis Washington Post, yang pada 2018 dibujuk masuk ke Konsulat Arab Saudi di Istanbul, lalu dibunuh oleh agen Saudi. Penyelidikan PBB menyimpulkan bahwa pembunuhan tersebut merupakan tindakan di luar hukum yang dilakukan oleh negara. Laporan intelijen Amerika Serikat yang dirilis pada masa pemerintahan Presiden Joe Biden pada 2021 juga menguatkan dugaan bahwa MBS memberikan persetujuan atas pembunuhan itu.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari otoritas Arab Saudi terkait eksekusi Turki al-Jasser maupun respons atas kritik internasional yang terus mengalir.[]
Putri Aulia Maharani