Google Ditinggalkan, Banyak yang Beralih ke Alternatifnya

Google Ditinggalkan, Banyak yang Beralih ke Alternatifnya

JAKARTA — Sentimen politik dan kekhawatiran atas keamanan data pribadi mendorong gelombang baru pengguna internet di Eropa untuk meninggalkan layanan teknologi asal Amerika Serikat. Produk-produk seperti Gmail, Instagram, hingga Starlink mulai ditinggalkan, digantikan oleh layanan alternatif dari Eropa.

Fenomena ini muncul seiring dengan meningkatnya kekhawatiran publik atas kedekatan para pimpinan perusahaan teknologi AS dengan pemerintahan Presiden Donald Trump. Menurut laporan Reuters, banyak warga Eropa kini lebih sadar secara politis dan aktif mencari layanan digital alternatif yang tidak berbasis di AS.

“Dulu hanya mereka yang peduli privasi data yang mencari alternatif. Sekarang, orang yang sadar politik pun ikut serta,” ujar Michael Wirths, pendiri Topio, perusahaan teknologi yang membantu pengguna ponsel di Eropa memasang sistem operasi Android bebas dari layanan Google.

Data dari Similarweb menunjukkan bahwa Ecosia, mesin pencari asal Jerman yang berfokus pada isu lingkungan, mengalami peningkatan penggunaan sebesar 27 persen. Ecosia kini menguasai sekitar 1 persen pangsa pasar mesin pencarian di Jerman. Meski demikian, jumlah kunjungan ke Ecosia di 27 negara Uni Eropa masih jauh di bawah Google hanya 122 juta kunjungan dibandingkan 10,3 miliar kunjungan ke Google.

Kondisi ini menunjukkan dominasi Google masih sangat kuat, yang tercermin dari pendapatan induknya, Alphabet, yang mencapai US$100 miliar dari kawasan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika sepanjang 2024. Sebagai perbandingan, Ecosia hanya meraih pendapatan sebesar US$3,65 juta pada April lalu.

“Semakin parah situasinya, justru makin baik untuk kami,” ungkap Christian Kroll, pendiri Ecosia, mengacu pada meningkatnya kepercayaan publik terhadap layanan non-AS.

Selain mesin pencari, ProtonMail layanan email berbasis di Swiss yang dikenal dengan tingkat keamanan tinggi juga mencatat lonjakan pengguna sebesar 11,7 persen. Sementara itu, Gmail mengalami penurunan pangsa pasar sebesar 1,9 persen, meski masih menguasai sekitar 70 persen pasar layanan email di Eropa.

Isu “kedaulatan digital” turut memperkuat tren ini. Banyak warga Eropa khawatir dominasi teknologi AS bisa menjadi ancaman bagi keamanan dan ekonomi mereka. Maria Farrell, pakar internet asal Inggris, menyebut bahwa kesadaran ini kini menjangkau masyarakat luas. “Bahkan penata rambut saya mulai bertanya, apa alternatif selain layanan Google,” ujarnya.

Ketakutan masyarakat diperparah oleh keberadaan regulasi di AS yang memungkinkan pemerintah mengakses data digital atas nama keamanan nasional. Menurut Greg Nojeim dari Pusat Demokrasi dan Teknologi, hukum di AS memungkinkan otoritas memeriksa data siapa saja yang menggunakan layanan digital berbasis AS, termasuk data warga negara asing.

Sebaliknya, di Eropa, Uni Eropa menerapkan regulasi ketat melalui Digital Service Act (DSA) yang bertujuan membatasi dominasi perusahaan digital besar dan menuntut tanggung jawab lebih dalam menanggulangi konten berbahaya dan ilegal.

Sebagai langkah konkret, pemerintah Jerman mulai mengurangi ketergantungan terhadap teknologi AS. Kota Schleswig-Holstein, misalnya, mewajibkan penggunaan perangkat lunak open-source di semua sistem IT pemerintahan. Selain itu, pemerintah Jerman juga mulai beralih ke layanan internet satelit milik Eutelsat dari Prancis, menggantikan Starlink yang dimiliki oleh Elon Musk.

Perkembangan ini menandai perubahan penting dalam lanskap digital Eropa, sekaligus menjadi tantangan nyata bagi dominasi raksasa teknologi asal Silicon Valley.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional