ADVERTORIAL — Kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Timur untuk mencopot Fathur Rachim dari jabatan Kepala SMAN 10 Samarinda memunculkan beragam respons di tengah masyarakat. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah tegas pemerintah provinsi dalam menegakkan kepatuhan terhadap hukum yang telah berkekuatan tetap, khususnya terkait kepemilikan lahan sekolah.
Polemik yang membayangi pemindahan SMAN 10 Samarinda dari lokasi lama menuju Kampus A di Jalan HM Rifaddin, Harapan Baru, Samarinda Seberang, selama bertahun-tahun memang belum sepenuhnya mereda. Namun, langkah pencopotan kepala sekolah tersebut menandai keseriusan pemerintah dalam melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 72 PK/TUN/2017 yang menyatakan bahwa lahan Kampus A adalah aset milik Pemerintah Provinsi Kaltim.
Putusan tersebut tidak berdiri sendiri. Beberapa keputusan hukum lain turut memperkuatnya, seperti Putusan Nomor 45/G/2021/PTUN.SMD, Nomor 151/B/2022/PT.TUN.JKT, dan Nomor 27 K/TUN/2023. Keempat putusan itu memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk memindahkan aktivitas belajar mengajar ke lokasi yang ditetapkan.
Di sisi lain, perhatian terhadap nasib para siswa tetap menjadi sorotan. Damayanti, anggota Komisi IV DPRD Kaltim, menyoroti pentingnya keberlangsungan pendidikan sebagai prioritas utama. Ia menegaskan bahwa persoalan administrasi dan kebijakan internal seharusnya tidak mengganggu hak peserta didik dalam memperoleh layanan pendidikan yang layak.
“Kami belum tahu kronologi pencopotan yang menyebabkan Plt Kepala Disdikbud Kaltim melakukan hal tersebut, tapi dalam kondisi saat ini kami hanya ingin memastikan bawasannya anak-anak mendapatkan pendidikan yang sebagaimana mestinya tidak terpengaruh kejadian itu,” ujar Damayanti, Selasa (01/07/2025), di Kompleks DPRD Kaltim.
Ia menambahkan bahwa kegiatan belajar dan mengajar harus tetap berjalan normal meski saat ini SMAN 10 menjalani aktivitas pendidikan di dua lokasi berbeda. Menurutnya, anak-anak tidak boleh menjadi korban dari ketegangan antara kebijakan dan implementasi hukum.
“Walau ada pencopotan kepala sekolah, jangan sampai kita merugikan anak-anak yang bersekolah di sana, karena mereka aset pembangunan daerah,” tegasnya.
Damayanti juga menyampaikan harapan agar seluruh pihak, baik pemerintah maupun yayasan yang pernah mengelola lahan, dapat mengedepankan komunikasi yang sehat dan menghindari konflik terbuka.
“Saya sangat berharap sekali keputusan MA itu dijalankan, tapi tanpa mengganggu proses belajar mengajar bagi anak yang belajar di SMA yayasan melati maupun anak ajaran baru dari SMAN 10 yang akan masuk di Samarinda Seberang,” tutup Damayanti.[]
Penulis: Muhamamddong | Penyunting: Agnes Wiguna