Iran: Senjata Non-Nuklir Bikin AS Terdesak Minta China

Iran: Senjata Non-Nuklir Bikin AS Terdesak Minta China

JAKARTA – Ketegangan geopolitik global memuncak setelah Amerika Serikat melancarkan serangan udara terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran. Tindakan militer ini memicu kekhawatiran akan potensi eskalasi yang lebih luas, termasuk ancaman nyata terhadap stabilitas jalur energi dunia di Selat Hormuz, yang selama ini menjadi urat nadi perdagangan minyak global.

Pemerintah Iran bereaksi keras atas serangan tersebut. Dalam pernyataan resmi, otoritas Teheran menegaskan kesiapan mereka untuk mengambil langkah tegas dalam mempertahankan kedaulatan. “Kami tidak akan tinggal diam. Iran akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk membela kedaulatannya,” demikian pernyataan yang dirilis setelah serangan udara AS.

Melansir Channel News Asia, Selat Hormuz merupakan jalur sempit strategis yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab. Sekitar 25% dari pasokan minyak dunia melalui laut melintasi selat ini, termasuk ekspor dari negara-negara Teluk ke Asia, Eropa, dan wilayah lainnya.

Jika Iran memutuskan untuk menutup selat tersebut, atau membuat jalur tersebut terlalu berisiko dilalui, pasar energi global dapat mengalami lonjakan harga yang drastis. Beberapa analis berpendapat bahwa Iran tidak perlu secara resmi mengumumkan penutupan. Cukup dengan meningkatkan kehadiran militer, seperti kapal patroli, drone, atau rudal, lalu lintas komersial sudah dapat terganggu.

Selat Hormuz memiliki panjang 161 kilometer dan lebar tersempit 33,8 kilometer. Jalur pelayaran untuk masing-masing arah bahkan hanya selebar 3,2 kilometer, membuatnya sangat rentan terhadap gangguan militer. Hampir 20 juta barel minyak mentah dan kondensat melewati kawasan ini setiap hari pada 2024, termasuk LNG dari Qatar yang memasok seperlima kebutuhan dunia.

AS dan sekutu telah beberapa kali mengamankan kawasan ini. Dalam “Perang Tanker” pada 1980-an, angkatan laut AS mengawal kapal-kapal dagang. Tahun 2019, AS kembali memperkuat kehadiran militernya dengan kapal induk dan pengebom B-52, serta membentuk operasi IMSC bersama 10 negara.

Menariknya, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio meminta China turun tangan. China merupakan pelanggan utama minyak Iran dan memiliki hubungan strategis dengan Teheran. “Saya mendorong pemerintah China untuk menghubungi mereka mengenai hal itu,” ujar Rubio dalam wawancara dengan Fox News.

Meski negara seperti Arab Saudi dan UEA memiliki jalur alternatif, sebagian besar ekspor energi dari Kuwait, Qatar, Bahrain, dan Irak masih bergantung pada Selat Hormuz. Bahkan Iran sendiri masih menggunakan jalur ini untuk ekspor minyak meski telah membangun terminal pelabuhan Jask sejak 2021.

Sejarah menunjukkan bahwa Iran kerap menggunakan taktik non-konvensional untuk membalas tekanan asing. Dalam beberapa tahun terakhir, Iran beberapa kali menyita kapal dagang, termasuk kapal MSC Aries milik Israel (2024), kapal tanker tujuan AS (2023), hingga dua kapal tanker Yunani pada 2022 sebagai respons atas penyitaan kargo minyak oleh pihak Barat.

Meskipun demikian, Iran belum pernah benar-benar menutup Selat Hormuz secara resmi. Bahkan pada puncak sanksi ekonomi 2011, ancaman itu tak berlanjut ke aksi nyata.

Dengan ketegangan saat ini, dunia kembali menyoroti kawasan ini sebagai titik rawan krisis global. Potensi meledaknya konflik berskala besar, bahkan menuju Perang Dunia 3, semakin tak dapat diabaikan jika eskalasi tidak segera diredam melalui diplomasi internasional.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional