LOMBOK – Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) telah menetapkan prosedur operasi standar (SOP) pendakian sebagai upaya menjamin keselamatan para pendaki yang menjelajahi kawasan pegunungan tersebut. SOP tersebut mencakup panduan teknis, larangan aktivitas berisiko, serta kewajiban yang harus dipatuhi oleh seluruh pihak, mulai dari operator wisata, pemandu, hingga pendaki individu.
Namun, hingga saat ini, implementasi SOP tersebut dinilai belum optimal. Masih banyak ditemui pelanggaran yang dilakukan baik secara sengaja maupun karena kurangnya pemahaman terhadap aturan yang telah ditetapkan. Salah satu temuan lapangan adalah pendaki yang memasuki jalur tanpa izin resmi, kurangnya persiapan logistik, serta ketidaktahuan terhadap kondisi cuaca ekstrem yang bisa membahayakan jiwa.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) menegaskan bahwa semua pihak yang terlibat dalam aktivitas pendakian seharusnya menjalankan kewajiban mereka dengan disiplin. “SOP itu dibuat bukan untuk membatasi, melainkan untuk melindungi. Baik dari sisi keselamatan maupun kelestarian lingkungan Gunung Rinjani,” ujarnya.
BTNGR juga telah menggandeng sejumlah komunitas pecinta alam dan pemandu lokal untuk meningkatkan edukasi terhadap calon pendaki. Namun, peningkatan jumlah wisatawan pascapandemi memicu tantangan baru dalam pengawasan. Banyak operator yang mengejar keuntungan, tetapi mengabaikan aspek keselamatan.
Kasus pendaki tersesat, kehabisan logistik, hingga kecelakaan ringan masih kerap terjadi setiap tahun. Hal ini menunjukkan pentingnya pengawasan ketat terhadap SOP dan perlunya sosialisasi yang lebih masif, terutama menjelang musim pendakian.
TNGR mengimbau masyarakat yang ingin mendaki untuk selalu mendaftarkan diri melalui sistem resmi, mematuhi arahan petugas, dan tidak mengabaikan peringatan cuaca. Keselamatan, menurut BTNGR, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh pendaki.[]
Putri Aulia Maharani