SAMARINDA — Di tengah derasnya arus informasi di era digital, praktik komunikasi publik melalui media sosial menjadi perhatian serius kalangan legislatif. Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur, Ananda Emira Moeis, menyoroti meningkatnya aktivitas akun-akun buzzer yang kerap menyebarkan opini negatif dan provokatif di ruang maya.
Menurut legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu, keberadaan akun-akun semacam ini justru menciptakan ketegangan sosial dan mencederai semangat demokrasi yang sehat. “Kalau buzzer-buzzer yang negatif, itu yang tidak boleh,” tegas Ananda saat ditemui, Sabtu (14/6/2025), menanggapi maraknya konten digital yang menjurus pada provokasi dan ujaran kebencian.
Ananda menilai, media sosial semestinya menjadi ruang dialog yang membangun dan mencerdaskan, bukan digunakan sebagai alat adu domba atau penyebar hoaks. Ia mengingatkan bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat, termasuk kritik terhadap kebijakan publik, namun harus tetap mengedepankan etika dan tanggung jawab moral. “Opini yang disampaikan dalam bentuk masukan atau kritik yang membangun masih bisa ditolerir. Karena kritik dan masukan itu bagian dari proses membangun daerah,” ujarnya.
Namun sayangnya, ia melihat batas antara kritik konstruktif dan ujaran kebencian kini semakin kabur. Narasi yang bersifat menjatuhkan, menyebarkan informasi bohong, atau bahkan mengandung unsur SARA, menurutnya, justru menjadi sumber keretakan sosial di tengah masyarakat. “Kalau sudah narasinya menjatuhkan, menyebarkan hoaks, apalagi ada unsur SARA, itu yang harus diwaspadai. Justru ini yang menimbulkan efek negatif di tengah masyarakat,” tambahnya.
Dalam konteks pembangunan daerah, Ananda menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam mengawal kebijakan melalui kontrol sosial. Namun, ia menegaskan bahwa kritik harus berdasarkan fakta dan niat baik, bukan sekadar menyerang untuk kepentingan tertentu.
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya peningkatan literasi digital masyarakat. Kemampuan memilah informasi yang valid dan memahami etika dalam berkomunikasi di media sosial menjadi kunci untuk menciptakan ruang digital yang sehat dan produktif.
Ia juga mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari pengguna individu, komunitas digital, hingga pembuat konten, untuk bersama-sama menjaga kesantunan dan kesehatan ruang publik digital. “Saya harap masyarakat dapat menyampaikan kritik dan masukan yang dapat membangun daerah lebih baik lagi,” katanya.
Pernyataan Ananda mencerminkan keprihatinan akan degradasi nilai-nilai kebersamaan akibat konten digital yang memecah belah. Di era ketika opini bisa viral dalam hitungan detik, peran warganet sebagai penjaga moral publik menjadi semakin penting.
Ananda pun menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat sipil dan pemerintah dalam menciptakan ruang digital yang tertib dan edukatif. Ia meyakini bahwa meskipun aturan hukum penting, kesadaran kolektif masyarakat jauh lebih efektif dalam mengendalikan penyebaran konten negatif.
Di sisi lain, pemerintah juga dituntut lebih aktif menyediakan ruang dialog terbuka, sehingga aspirasi masyarakat dapat tersalurkan secara tepat dan rasional. Dengan demikian, ruang untuk buzzer negatif pun akan menyempit dengan sendirinya.
Sebagai provinsi yang tengah berkembang pesat dan menjadi lokasi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur membutuhkan stabilitas sosial yang kuat. Dalam konteks ini, media sosial memiliki peran strategis, baik sebagai alat partisipasi publik maupun potensi ancaman jika disalahgunakan. Oleh karena itu, budaya digital yang beretika harus diperkuat agar ruang maya dapat berfungsi sebagai sarana ekspresi, kolaborasi, serta pembelajaran publik dalam mendukung pembangunan daerah yang inklusif, adil, dan terbuka. []
Penulis: Muhamaddong | Penyunting: Agnes Wiguna