JAKARTA – Suara kritis kembali bergema dari Koalisi Masyarakat Sipil yang menyoroti proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Mereka menyayangkan minimnya keterbukaan dalam pembahasan regulasi krusial ini dan menilai bahwa proses legislasi terkesan dilakukan secara tertutup serta tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai.
Dalam langkah yang tak biasa, koalisi ini bahkan melayangkan tantangan terbuka kepada Komisi III DPR RI untuk berdebat secara publik. Debat tersebut dijadwalkan pada Senin, 14 Juli 2025, pukul 14.00 WIB, dan akan digelar di depan Gerbang Pancasila, kompleks gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Tantangan debat ini bukan sekadar simbolik. Dalam unggahan di akun Instagram resmi @lbh_jakarta, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa inisiatif ini dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban publik yang seharusnya diemban oleh wakil rakyat.
“Jika DPR merasa punya legitimasi, tidak ada alasan untuk menghindar dari pertanggungjawaban publik ini,” tulis pernyataan mereka.
Koalisi juga menyoroti sejumlah pasal dalam RUU KUHAP yang dianggap bermasalah karena dinilai berpotensi melemahkan perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara. Di antaranya adalah hak atas bantuan hukum, privasi pribadi, dan prinsip praduga tak bersalah yang selama ini menjadi pilar penting dalam sistem peradilan pidana.
“RUU KUHAP ini tidak hanya menyangkut teknis hukum, tapi menyentuh langsung jaminan hak konstitusional warga. Oleh karena itu, publik wajib dilibatkan dalam proses pembahasannya,” ujar perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Pihak koalisi juga menyoroti kecenderungan DPR dan pemerintah dalam mengesahkan berbagai produk hukum secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap masyarakat. RUU KUHAP, yang akan menjadi landasan hukum dalam penegakan keadilan pidana di Indonesia, dianggap terlalu penting untuk dibahas secara diam-diam tanpa keterlibatan luas dari masyarakat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), salah satu bagian dari koalisi, menyebut bahwa pembahasan revisi KUHAP kali ini lebih banyak mengabaikan prinsip-prinsip keadilan restoratif dan perlindungan terhadap korban, serta lebih condong kepada pendekatan hukum yang represif.
Desakan agar pembahasan RUU dilakukan secara transparan dan akuntabel pun kembali mencuat. Publik berharap agar lembaga legislatif menunjukkan komitmen terhadap prinsip keterbukaan, sekaligus membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam merumuskan kebijakan hukum yang adil dan berkeadilan. []
Diyan Febriaan Citra.