Aktivis KontraS Alami Intimidasi Usai Kritisi RUU TNI

Aktivis KontraS Alami Intimidasi Usai Kritisi RUU TNI

JAKARTA — Upaya memperjuangkan keterlibatan publik dalam proses legislasi kembali diuji. Andrie Yunus, Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengungkap bahwa dirinya mengalami sejumlah tindakan intimidatif usai menyuarakan protes dalam rapat Komisi I DPR yang membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Kesaksian itu disampaikan Andrie dalam sidang pengujian formil terhadap revisi UU TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar pada Senin (14/07/2025). Ia menjadi salah satu saksi dari pihak pemohon yang menggugat proses legislasi tersebut karena dinilai tidak melibatkan partisipasi publik secara memadai.

“Memasuki tengah malam, saya mendapati panggilan telepon dari nomor tidak dikenal. Satu kali melalui telepon biasa dan dua lainnya melalui telepon WhatsApp,” kata Andrie di hadapan majelis hakim MK.

Andrie menyebut bahwa nomor yang menghubunginya terindikasi memiliki afiliasi dengan pihak intelijen. Nomor tersebut, berinisial “T”, bahkan terhubung dengan label seperti Deninteldam Jaya dan Cakra 45 saat dilakukan pengecekan.

Intimidasi tidak berhenti di situ. Pada 16 Maret 2025, sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, kantor KontraS mengalami kehadiran sejumlah orang tak dikenal. Menurut rekaman CCTV, tiga orang berbadan tegap dan berambut cepak datang ke kantor dan mengaku sebagai wartawan. Tidak lama kemudian, lima hingga enam orang lain juga terlihat di sekitar lingkungan kantor.

Kejadian ini berlangsung hanya beberapa hari setelah Andrie menginterupsi rapat pembahasan RUU TNI yang digelar Komisi I DPR di Hotel Fairmont, Jakarta. Saat itu, ia menyampaikan kekhawatiran atas minimnya ruang partisipasi sipil dalam pembahasan RUU yang menyangkut institusi militer tersebut.

Dalam sidang MK, Andrie menegaskan bahwa tindakannya semata-mata untuk menjamin keterbukaan informasi dan pelibatan masyarakat sipil dalam proses legislasi. “Kritik saya bukan bentuk permusuhan, melainkan hak sipil untuk terlibat,” ucapnya.

Sidang uji formil RUU TNI kali ini menggabungkan lima perkara sekaligus, masing-masing terdaftar dalam nomor 45/PUU-XXIII/2025 hingga 81/PUU-XXIII/2025. Perkara ini diajukan oleh gabungan organisasi masyarakat sipil, LSM, dan perwakilan mahasiswa. Mereka menilai proses revisi UU TNI terburu-buru dan minim transparansi.

Di sisi lain, DPR dan pemerintah menyatakan bahwa pembahasan telah melalui mekanisme resmi dan tetap melibatkan publik. Namun pernyataan tersebut dibantah oleh para pemohon yang merasa akses mereka terhadap informasi dan ruang dialog sangat terbatas.

Kejadian yang dialami Andrie menjadi catatan serius bagi demokrasi di Indonesia. Intimidasi terhadap aktivis dan suara-suara kritis berpotensi memperlemah peran publik dalam mengawasi jalannya proses demokratis, terutama pada regulasi strategis seperti UU TNI. []

Diyan Febriana Citra.

Hotnews Nasional