JAKARTA — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kembali menyuarakan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI pada Senin (14/07/2025), Komisioner Komnas Perempuan, Rr. Sri Agustini, menyampaikan usulan agar Mahkamah Agung (MA) tidak diberi kewenangan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada putusan pengadilan tingkat sebelumnya atau judex facti dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
“Di Pasal 293 ini masih sama terkait dengan permohonan kasasi. Menambahkan ayat (3) misalnya di Pasal 293 dalam hal MA menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, maka pidana tersebut tidak boleh lebih berat dari putusan Judex factie ataupun juga putusan pengadilan di bawahnya,” ujar Sri.
Tak hanya menyoal beratnya vonis, Komnas Perempuan juga menyoroti pentingnya pertimbangan terhadap dampak vonis terhadap korban. Sri mengusulkan agar Pasal 293 ayat (4) mengatur secara eksplisit kewajiban MA untuk mempertimbangkan dampak putusan terhadap korban, khususnya kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
“Dalam hal terjadi perubahan terhadap pidana yang dijatuhkan sebagaimana pada ayat (3), MA wajib mempertimbangkan dampaknya terhadap korban termasuk hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan yang layak,” lanjutnya.
Usulan Komnas Perempuan ini menggarisbawahi pentingnya perspektif korban dalam proses hukum yang selama ini dinilai terlalu berfokus pada pelaku dan hukum pidana semata. Namun demikian, upaya Komnas Perempuan tersebut tidak lepas dari tantangan.
Sebelumnya, usulan serupa sempat dibahas dalam Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP, namun akhirnya diputuskan untuk dihapus. Ketua Komisi III DPR sekaligus Ketua Panja RUU KUHAP, Habiburokhman, menyampaikan bahwa penghapusan tersebut dilakukan guna mempertahankan kewenangan Mahkamah Agung.
“Sudah disepakati bahwa ketentuan ini dihapus,” kata Habiburokhman. Ia menegaskan bahwa MA tetap berwenang memutuskan hukuman yang menurutnya paling tepat, termasuk menjatuhkan hukuman lebih berat daripada putusan di pengadilan sebelumnya.
“Mahkamah Agung tetap bisa menjatuhkan hukuman sesuai keyakinannya, apakah lebih berat atau tidak dari pengadilan yang sebelumnya,” ujarnya.
Perdebatan ini menunjukkan tarik-menarik antara prinsip independensi lembaga peradilan dengan kebutuhan akan sistem hukum yang lebih berpihak pada korban, terutama mereka yang berasal dari kelompok rentan. Komnas Perempuan menegaskan bahwa reformasi hukum acara pidana harus memuat prinsip keadilan yang tidak semata berorientasi pada pelaku, melainkan juga memperhatikan hak korban. []
Diyan Febriana Citra.