JAKARTA – Upaya seorang advokat untuk mendorong perubahan sistem nilai mata uang Indonesia kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Hari ini, Kamis (17/07/2025), MK dijadwalkan akan membacakan putusan atas permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang kali ini kembali diajukan oleh Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak.
Permohonan ini menjadi babak lanjutan dari perjuangan hukum Zico yang sebelumnya telah mengajukan perkara serupa, yakni perkara Nomor 23/PUU-XXIII/2025. Saat itu, MK menolak permohonan tersebut karena dinilai tidak jelas atau kabur. Namun, seminggu setelah putusan tersebut dibacakan pada 14 Mei 2025, Zico kembali mengajukan permohonan yang substansinya tetap sama.
Dalam permohonan barunya yang teregister dengan Nomor 96/PUU-XXIII/2025, Zico tetap mengusulkan redenominasi mata uang rupiah. Ia meminta agar nominal Rp 1.000 diubah menjadi Rp 1, serta nominal Rp 100 menjadi setara dengan 10 sen. Dalih utama yang dikemukakan oleh Zico adalah alasan kesehatan dan efisiensi, terutama berkaitan dengan kesehatan mata masyarakat dan potensi kesalahan dalam transaksi akibat terlalu banyaknya angka nol pada mata uang rupiah.
Dalam petitumnya, ia menegaskan bahwa bentuk rupiah saat ini menimbulkan potensi kerugian konstitusional karena memicu penyakit mata dan kekeliruan dalam perhitungan keuangan sehari-hari.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo (tersebut), karena permohonan a quo tidak jelas atau kabur, maka terhadap kedudukan hukum pemohon, pokok permohonan, dan hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya,” demikian bunyi penjelasan Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam putusan sebelumnya.
Kala itu, MK menilai permohonan Zico tidak konsisten secara hukum dan substansi permohonannya dianggap bertentangan satu sama lain, sehingga dihentikan pada tahap awal atau dismissal.
Namun, melalui langkah hukum yang diulang ini, Zico tampak berupaya memperjelas kembali argumen dan kerugian konstitusional yang dialaminya. Ia menilai bahwa redenominasi tidak hanya perlu dilihat dari sisi teknis ekonomi, tetapi juga dari segi sosial dan kesehatan masyarakat.
Perkara ini pun menjadi sorotan karena mencerminkan dinamika antara hak warga negara untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan ketegasan MK dalam menilai kelayakan serta kejelasan setiap permohonan yang masuk. Publik menantikan, apakah kali ini Mahkamah akan memberikan putusan berbeda dibanding sebelumnya, atau tetap mempertahankan pandangan bahwa redenominasi bukan isu yang mendesak untuk dikabulkan melalui jalur yudisial. []
Diyan Febriana Citra.