Sebanyak 150 lubang tambang di Samarinda menjadi momok warga. Bak kutukan, tiap saat makan tumbal. Sejak perut-perut bumi kota tepian mulai terkoyak, totalnya sudah 9 anak jadi korban. Akankah bertambah lagi?
Versi Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), ada sebanyak 76 lubang eks galian tambang batu bara yang masih dibiarkan menganga seantero Samarinda, kota berjuluk Teduh Rapi Aman dan Nyaman (Tepian) ini. Lubang-lubang itu tercipta dari 61 izin usaha pertambangan (IUP) batu bara yang pernah diterbitkan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda.
Data Distamben Kaltim sedikit berbeda dengan yang pernah diungkap pihak Distamben Samarinda pada Januari 2015 lalu. Totalnya hanya 70 lubang tambang dengan kedalaman maksimal sekitar 20 meter dan lebar rata-rata sekitar 100 meter.
Lalu versi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jaringan Tambang (Jatam) berbeda lagi. Ceruk eks galian emas hitam ini jumlahnya jauh lebih banyak dari yang didata pihak Distamben Kaltim, terlebih Distamben Samarinda. Jumlahnya 150 lubang bekas galian yang tercipta dari operasional 80 perusahaan tambang yang menguasai sekitar 75 persen luasan Kota Samarinda.
Meski kalkulasi soal jumlah lubang eks tambang ini berbeda-beda, namun semua sepakat bahwa lubang dimaksud tak membawa berkah dan manfaat, malah membawa petaka. Buktinya, sejak bumi Samarinda banyak dikoyak oleh operasi tambang batu bara, satu per satu korban nyawa mulai berjatuhan.
Jika ditotal, sudah 9 nyawa anak direnggut ‘si Malaikat Maut’ yang bersemayam di lubang-lubang tambang itu. Bak jadi kutukan, selama lubang tambang tak ditutup, akan terus meminta korban nyawa. Banyak meradang, tapi banyak juga yang saling melempar tanggung jawab.
Kejadian maut pertama berlangsung 13 Juli 2011 silam. Korbannya tiga orang anak, yakni Miftahul Jannah, Junaidi dan Ramadhani. Ketiganya tewas di lubang tambang PT Hymco Coal di Sambutan Peristiwa kedua berlangsung 24 Desember 2011, di lubang tambang PT Panca Prima Mining, di Perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7. Dua anak bernama Eza dan Ema nyawanya melayang.
Setahun kemudian, tepatnya 25 Desember 2012, Maulana Mahendra (11) diketahui tewas di sebuah galian bekas tambang batubara Blok B RT 18 Simpang Pasir, Palaran. Absen setahun tak mencabut nyawa, kolam tambang kembali makan korban pada 8 April 2014 bernama Nadia Zaskia Putri (10). Ia ditemukan tak bernyawa di lubang tambang yang berada di Kelurahan Rawa Makmur RT 48, Kecamatan Palaran.
Korban kedelapan kutukan kolam tambang adalah Muhammad Raihan Saputra (10). Pada 22 Desember 2014, di lokasi eks tambang milik PT Graha Benua Etam (GBE), di Gang Saliki, Jl Padat Karya, Bengkuring, Sempaja Selatan, murid kelas 4 sekolah dasar ini ditemukan mati lemas. Dan yang terakhir jadi korban adalah Ardi (13). Bocah ‘berkebutuhan khusus’ itu ditemukan mengapung tak bernyawa di kolam tambang Sambutan yang diduga milik PT Cahaya Energi Mandiri (CEM), Senin (25/5/2015) lalu.
Akankah kolam-kolam itu kembali memakan korban? Dinamisator Jatam, Merah Johansah menegaskan, selama bekas galian tambang itu tak direklamasi, tak ditutup seperti sedia kala, korban-korban akan terus bermunculan. Dan yang paling bertanggungjawab atas ‘kutukan maut’ ini adalah pemerintah dan pengusaha tambang. “Mestinya, yang lain juga ditutup. Harus cepat, terutama kawasan padat permukiman,” kata Merah.
Lagi pula, dalam peraturan perundangan, tak membedakan dekat-jauhnya lokasi dengan permukiman. Selama lubang masih terbuka, lanjutnya, mesti direklamasi sesuai aturan. Sementara itu, permintaan Jatam Kaltim agar DPRD Samarinda mengambil sikap dengan menyatakan hak interpelasi dan hak angket mendapat dukungan.
Menurut Merah, kematian para bocah tersebut adalah bentuk dari kelalaian seperti disebutkan dalam Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 359. Sedangkan yang bertanggung jawab disebutkan pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 112.
Selain itu, pembiaran terhadap lubang tambang yang tidak direklamasi sehingga merenggut nyawa anak-anak, memenuhi unsur pelanggaran peraturan perundangan tentang perlindungan anak. Dalam Pasal 76A UU No. 35 Tahun 2014, disebutkan bahwa pelarangan dalam memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
Sanksi pidana kepada pelanggar pasal tersebut dimuat pada Pasal 77 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
“Kami telah melakukan investigasi dan menemukan banyak bukti. Lubang-lubang tambang ditinggalkan begitu saja. Jadi unsur-unsurnya semua telah terpenuhi. Pemkot Samarinda dan perusahaan tambang harus bertanggung jawab,” tegas Merah.
Hendrik Siregar, Koordinator Jatam menambahkan, kecelakaan maut yang menimpa anak-anakl di lubang tambang harus segera diusut karena menyangkut keselamatan rakyat. Meskipun sebenarnya ia merasa pesimis. “Sepertinya pengurus negara belum menunjukan langkah ideal menyelesaikan persoalan menyangkut keselamatan rakyat,” kata Hendrik.
Hendrik mengungkapkan, sebelumnya jumlah anak yang tewas di area pertambangan sebanyak sembilan orang. Namun, Hendrik menyebut, pada tiga hari lalu salah satu anak kembali ditemukan tewas setelah tercebur dalam lubang tambang di Samarinda. Ia menyatakan, Samarinda tak pantas disebut kota layak anak. Hal tersebut dilihat dari total 71 persen luas kota Samarinda yang kini dikapling tambang dan bekas-bekas penambangannya menjadi ranjau bagi anak-anak.
Persoalan lubang maut di Samarinda ini sebenarnya sudah dibawa kemana-mana. Bukan saja oleh para aktivis lembaga swadaya masyarakat, tetapi juga masyarakat dan keluarga para korban. Lihat saja Gerakan Samarinda Menggungat, yang membawa persoalan tambang di Samarinda ke meja hijau.
Lalu ada juga yang melaporkan ke kepolisian, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bahkan ke Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan Menteri pemberdayaan & Perlindungan anak. Masyarakat juga diketahui ramai-ramai membuat petisi. Tapi sayang, semua usaha belum membuahkan hasil. Seluruh lubang tambang tak juga ditutup dan pihak-pihak yang bertanggungjawab, tak satupun diberikan hukuman.
REAKSI TAK PRODUKTIF
Sementara timbulnya korban terakhir akibat keberadaan kolam tambang, Senin lalu (25/5), melahirkan sejumlah reaksi yang terkesan tak produktif. Kalangan aktivis lingkungan dan masyarakat umum, menuding pihak pemerintah dan perusahaan tambang yang paling bertanggungjawab.
Sedangkan pihak pemerintah, bukannya membantu korban, malah seperti saling melempar tanggung jawab. Demikian juga pihak perusahaan yang dituduh sebagai pembuat kolam tambang, malah berkilah.
Wali Kota Syaharie Jaang membantah jika Pemkot dikatakan tak serius mengurusi lubang bekas tambang. Lagi pula, kata dia, saat ini pengawasan di pemerintah provinsi. Pemkot melalui Dinas Pertambangan dan Energi pun dikatakan tidak lagi memiliki wewenang mengambil tindakan. “Kami hanya membantu saat ini,” katanya.
Dia balik mempertanyakan keseriusan polisi untuk mengusut siapa yang paling bertanggung jawab ketika warga meninggal di kolam tambang. “Jadi, kami serahkan ke kepolisian untuk mengambil tindakan,” ucap Jaang.
Menanggapi pernyataan Wali Kota, salah seorang aktivis Jatam Kaltim, Seny Sebastian mengatakan, bahwa pemkot tidak bisa begitu saja lepas tangan. Pengawasan kini di Pemprov Kaltim, kata dia, hanya alibi. Menurutnya, Pemkot Samarinda tetap memiliki tanggung jawab dari timbulnya kolam maut bekas tambang. Jatam pun mendesak Wali Kota Syaharie Jaang mengambil sikap tegas.
Secara terpisah, Wakil Wali Kota (Wawali) Samarinda Nusyirwan Ismail turut berbicara seputar pertambangan. Dikatakannya, pemkot memiliki lima inspektur tambang. Seluruh tenaga yang dimiliki pemkot pun siap dikerahkan untuk tindakan sepanjang pemprov aktif berkomunikasi.
“Bukan melempar tanggung jawab, aturannya seperti itu,” ujarnya. Dia berharap pemprov segera menyusun rencana kerja dan menyampaikan kepada daerah. Provinsi tetap menjadi pemimpin dalam satuan tugas.
“Pemkot sudah memberikan data-data jumlah lubang tambang yang tidak direklamasi. Kami siap bekerja sama jika diminta tugas-tugas tertentu. Saya pun secara lisan sudah menyampaikan kepada kepala Distamben Kaltim (Amrullah, red) bahwa ada lubang tambang yang harus disikapi,” tuturnya.
Belajar dari kejadian terakhir, Nusyirwan meminta pemprov mengeluarkan cara baru menanggulangi lubang tambang di Samarinda. Memberi batas waktu kepada perusahaan untuk menutup lubang tambang, jika tidak diberi sanksi.
Sepanjang tidak bertentangan, dia juga menyarankan dana jaminan reklamasi (jamrek) dipakai menutup lubang. “Namun harus sesuai rekomendasi provinsi. Kami berharap pemprov mengambil tindakan cepat. Saya berdoa tidak ada korban lagi,” harapnya.
Dia menyebut, sudah saatnya digelar rapat koordinasi (rakor) tambang dengan melibatkan pemprov, pemkot, Jatam, dan pihak terkait. “Semua pihak terlibat. Mau dibawa ke mana lubang tambang ini?” tutupnya
Sementara Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim, Amrullah mengaui bahwa Distamben Kaltim memiliki kewenangan lebih besar dari Samarinda, terutama setelah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berlaku. Urusan pertambangan tidak lagi dipegang pemerintah kabupaten dan kota. Penerbitan, pengawasan, hingga pencabutan izin menjadi wewenang penuh pemerintah provinsi.
Distamben Kaltim pun menginventarisasi lubang bekas tambang yang beroperasi di sekitar permukiman di Samarinda. Untuk kolam jenis itu, diberi label “ring 1”. Distamben belum bisa melansir jumlah “lubang ring 1” karena masih didata.
Namun demikian, terang pria berkacamata itu, pemprov telah mengawasi 21 lubang bekas tambang dari delapan perusahaan. Seluruh lubang dengan luas total 43,5 hektare itu direkomendasikan ditutup. “Bukan sekadar pengawasan, ada rekomendasi dan tindak lanjut untuk lubang-lubang itu,” ujarnya kepada wartawan, (26/5).
Dalam waktu dekat, seluruh pemegang IUP dipanggil kembali untuk dimintai komitmen terhadap lingkungan. “Pengawasan terus berjalan. Kami tuntut mereka (pemegang IUP) menutup lubang dengan dana mereka,” kata dia.
Menanggapi kematian korban ke-10 di lubang bekas tambang, Wali Kota Syaharie Jaang sebelumnya telah memberi pernyataan. Senin, dua hari lalu, Jaang menolak jika pemkot disalahkan karena dinilai tidak serius mengurusi lubang bekas tambang.
Lagi pula, kata dia, saat ini pengawasan ada di pemprov, sesuai UU 23/2014. Pemkot melalui Distamben Samarinda pun dikatakan tidak lagi memiliki wewenang mengambil tindakan. “Kami hanya membantu saat ini,” katanya.
Bagaimana sikap Pemprov Kaltim? Provinsi rupanya tak mau disebut hanya menjadi tukang “cuci piring” sisa-sisa pesta batu bara masa silam. Pemkot pun diminta tak cuci tangan setelah kenduri batu bara selesai. Pemkot tidak bisa melempar masalah begitu saja meskipun kewenangan sektor pertambangan kini di tangan pemprov. “Itu (kewenangan) bukan keinginan pemprov, melainkan amanat undang-undang,” tegas Amrullah, kadistamben Kaltim. IUP yang meninggal lubang bekas tambang, lanjutnya, diterbitkan pemkot.
Dia lalu balik bertanya mengenai pengawasan pemkot terhadap aktivitas tambang selama ini. Sejatinya, terang dia, tidak ada IUP yang diterbitkan jika berlokasi dekat dengan permukiman. “IUP itu kini sangat disesalkan. Kami evaluasi izin-izin itu,” jelasnya.
Amrullah meminta pemkot tak hanya mau enaknya. Sebagai daerah penghasil, Samarinda menerima 32 persen bagi hasil royalti batu bara. “Jangan begitu. Mari bersama-sama mengawasi,” pinta dia.
Lagi pula, provinsi memiliki inspektur tambang yang terbatas di tengah begitu banyak aktivitas tambang. Distamben Kaltim, kata Amrullah, hanya memiliki delapan pengawas tambang yang bekerja di seluruh kabupaten/kota. “Tapi Samarinda tetap menjadi prioritas mengingat hanya satu-satunya kota di Indonesia yang dikepung tambang,” jelasnya.
Amrullah turut menyinggung dokumen tambang, termasuk dokumen lingkungan, yang belum diserahkan Distamben kabupaten/kota kepada gubernur. Dari dokumen itu bisa diketahui situasi lapangan sudah sesuai atau belum dengan dokumen.
Penutupan lubang bekas tambang menggunakan dana perusahaan. Adapun pemegang IUP yang tidak beroperasi namun masih meninggalkan lubang, dijerat pidana sesuai UU PPLH. “Kalau bunyi dokumen amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) tidak meninggalkan lubang, kami kejar agar perusahaan menutup lubang,” bebernya.
Dalam peristiwa yang merenggut nyawa Ardi di Sambutan, investigasi awal Jatam menemukan bahwa lahan itu masuk IUP yang dipegang PT CEM. Adapun kegiatan di lapangan dikerjakan PT CMS Kaltim Utama selaku kontraktor. “Perusahaan ini juga memiliki site plan di Lempake (Samarinda Utara),” ujarnya.
PT CEM terdaftar dengan Nomor SK IUP: 545/315/HK-KS/VI/2010 dan beroperasi dengan luas 1680,35 hektar sejak 17 Juni 2010. Izin PT CEM berakhir 30 April 2018. Lubang tambang perusahaan dekat dengan permukiman dan fasilitas publik tempat pembuangan akhir. Kegiatan tambang, houling, dan lubang bekas tambang ini diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara.
Aturan itu menyebutkan, tepi lubang galian dengan permukiman dan fasilitas publik minimal berjarak 500 meter. “Tapi, kenyataannya jarak kegiatan tambang houling hanya 10 meter dari halaman TPA Sambutan. Warga juga menyebut perusahaan baru saja memasang plang tanda larangan beraktivitas memancing dan berenang sesaat setelah jatuh korban,” kata Merah.
Karena itu, perusahaan tambang tersebut juga diduga melanggar Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 55/K/26/MPE/1995 karena tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang. “Juga tidak ada pengawasan sehingga orang bisa masuk,” ujar Merah.
KOMNAS HAM BERAKSI
Laporan Jatam bersama masyarkaat Samarinda ke Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM di balik belum direklamasinya lubang-lubang tambang hingga memakan banyak korban nyawa, membuahkan hasil. Komisioner Komnas HAM turun tangan dan bereaksi.
Selasa lalu (26/5), empat orang perwakilan Komnas HAM mendatangi kantor Jatam di Jalan Suwandi V Samarinda Ulu untuk gelar pertemuan dan meminta data temuan Jatam selama ini. “Komnas HAM berkunjung ke Kaltim, terkait dengan empat kasus dilaporkan Jatam Kaltim,” kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Maneger Nasution, ditemui usai pertemuan dengan Jatam Kaltim.
Setelah memperoleh data hasil temuan dari Jatam, kata Maneger, Komnas HAM langsung melakukan investigasi, dengan langkah awal mendatangi lubang tambang yang telah memakan korban jiwa. “ Kita ke lapangan dan temui pemerintah daerah,” ucap Maneger.
Tak hanya itu, petinggi di Polda Kaltim juga menjadi salah satu agenda perwakilan Komnas HAM di Kaltim. Di mata Maneger, peristiwa tewasnya beberapa anak di lubang tambang bukanlah peristiwa kemanusiaan biasa, sehingga perlu hadirnya negara untuk atasi masalah tersebut, sehingga tak ada lagi nyawa melayang sia-sia di lubang tambang. “ Siapa negara itu adalah pemerintah, baik Pemkot dan Pemprov, termasuk kepolisian. Ini kan ada lubang yang dibiarkan menganga bertahun-tahun, jika tak diatasi, siapa yang jamin korban tak bertambah lagi,” ujarnya.
Untuk menyelesaikan perkara lubang menganga itu, domain Komnas HAM adalah mendorong negara untuk hadir, melakukan reklamasi paska tambang. Jika pemerintah terus membiarkan lubang menganga, maka Komnas HAM akan gunakan kewenangannya untuk katakan bahwa pemerintah tak hadir dan melanggar HAM.
“Karena ada uang reklamasi. Kita akan dorong itu, kalau dibiarkan terus menerus, kita akan gunakan kewenangan mengatakan pemerintah tak hadir. Kasus pidana biasa itu beda dengan pidana HAM, yang sampai kapanpun tak pernah hilang,” tegasnya.
Lebih lanjut dikatakan, klarifikasi dengan pemerintah akan dilakukan. “Jadi kami belum mengatakan melanggar HAM, karena kami harus dengarkan semua. Kalau dugaan pelanggaran HAM memang ada. Faktanya, ada banyak bocah yang meninggal karena kelalaian, sudah bertahun- tahun lubang itu tak diapa-apakan, bukan hanya satu anak,” tegasnya.
Ditanya mengenai proses hukum sejauh ini di kepolisian, terkait anak-anak tenggelam dilubang tambang, Maneger mengatakan pihaknya akan mendorong pihak kepolisian selaku penyidik agar tak hanya gunakan UU KUHP, seperti dilakukan selama ini, namun gunakan UU lain, seperti UU Perlindungan Anak, UU tentang Lingkungan Hidup dan UU 39/1999 tentang HAM. “Korbannya adalah anak-anak, di sini ada tentang lingkungan hidup. Kenapa tak digunakan?” ujarnya.
Dari kasus korba, informasi yang dihimpun dari Jatam, sejauh ini baru dua kasus yang telah diputuskan pengadilan, namun putusannya tergolong ringan. “Kita diberitahu teman-teman Jatam, infonya ada yang sudah divonis dua bulan, denda Rp1.000 rupiah. Kita hargai itu sebagai proses hukum berlangsung,” sebutnya.
Jika UU Lingkungan Hidup dan Perlindungan Anak diterapkan, kata Maneger dalam kasus anak tenggelam di lubang eks tambang, diprediksi putusannnya di pengadilan akan berbeda. “Saya kira, tali asih adalah peristiwa kemanusiaan biasa. Tapi, tidak harus hilangkan peristiwa hukum. Boleh saja berikan tali asih, uang kerahiman dan sebagainya, tapi peristiwa hukumnya tidak hilang,” ungkapnya. []