JAKARTA — Situasi di sekitar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memanas menjelang sidang vonis Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang didakwa dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR untuk Harun Masiku. Aksi solidaritas ditunjukkan oleh sekelompok massa yang menggelar unjuk rasa di depan gedung pengadilan, menandai ketegangan publik atas proses hukum yang tengah berlangsung.
Pada Jumat pagi (25/07/2025), sekitar pukul 10.11 WIB, para pendukung Hasto mulai memadati Jalan Bungur Besar Raya. Mereka membawa sejumlah atribut, termasuk spanduk tuntutan pembebasan Hasto serta keranda bertuliskan “matinya demokrasi”. Pakaian serba hitam yang dikenakan massa seolah menyimbolkan duka terhadap situasi hukum dan politik yang mereka nilai telah menyimpang dari keadilan.
“Kami ingin majelis hakim mendengar suara rakyat. Hasto bukan kriminal, tapi korban dari permainan politik,” teriak salah satu peserta aksi.
Pihak kepolisian tampak melakukan pengamanan ketat. Pengunjung yang hendak masuk ke ruang sidang harus melalui proses pemeriksaan menggunakan alat X-Ray. Persidangan yang dijadwalkan berlangsung pada pukul 13.30 WIB ini juga akan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube resmi PN Jakarta Pusat, menunjukkan tingginya perhatian publik terhadap kasus ini.
Dalam perkara tersebut, Hasto dituntut hukuman tujuh tahun penjara dan denda sebesar Rp 600 juta. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Hasto terbukti menghalangi penyidikan dan memberikan suap kepada mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, guna meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR pengganti.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 7 tahun,” ucap jaksa dalam persidangan yang digelar Kamis (03/07/2025) lalu.
Jika denda sebesar Rp 600 juta tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Jaksa menilai Hasto telah melanggar Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP, serta Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Terlepas dari proses hukum yang tengah berlangsung, unjuk rasa ini mengindikasikan meningkatnya ketidakpercayaan sebagian publik terhadap lembaga hukum. Narasi yang berkembang di tengah masyarakat menyiratkan bahwa vonis terhadap tokoh politik sekelas Hasto tidak sekadar persoalan hukum, tetapi juga mencerminkan pertarungan wacana dan kepentingan politik yang lebih besar.
Keranda bertuliskan “matinya demokrasi” bukan sekadar simbol, tetapi menjadi bentuk kritik keras terhadap sistem yang dianggap pincang. Banyak pihak kini menunggu, apakah majelis hakim akan mampu menjaga independensi di tengah sorotan dan tekanan yang mengemuka dari berbagai arah. []
Diyan Febriana Citra.