JAKARTA — Perhatian masyarakat Aceh kembali tertuju pada janji lama yang hingga kini belum terealisasi: pengesahan bendera daerah. Setelah sengketa wilayah terkait empat pulau di perbatasan selesai dengan keputusan pemerintah pusat yang menetapkan keempat pulau sebagai bagian dari Aceh, kini wacana mengenai simbol identitas daerah kembali mencuat.
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haythar, menyuarakan harapan masyarakat Aceh agar bendera daerah yang telah diatur dalam qanun dapat segera disahkan secara legal oleh pemerintah pusat. Hal ini disampaikan Malik usai melakukan pertemuan dengan mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, pada Selasa malam (17/06/2025) di Jakarta.
“Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja,” ujar Malik kepada wartawan, menegaskan kembali harapan yang sudah lama bergema di tanah rencong.
Isu bendera Aceh bukanlah hal baru. Aspirasi ini telah tercantum dalam Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 sebagai landasan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam butir 1.1.5 perjanjian tersebut, disebutkan secara jelas bahwa Aceh memiliki hak untuk menetapkan simbol daerah, termasuk bendera, lambang, dan himne.
Ketentuan tersebut diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun hingga kini, pengakuan legal formal terhadap bendera Aceh masih tertunda. Pasal 246 ayat (3) dalam UU tersebut memang memberi batasan tegas bahwa bendera Aceh bukan simbol kedaulatan, melainkan identitas kekhususan daerah.
Pemerintah Aceh sendiri telah menetapkan desain bendera dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2013. Dengan latar merah dan simbol bulan sabit serta bintang putih di tengah, desain bendera ini mencerminkan nilai-nilai perjuangan, kesucian, serta semangat keimanan yang melekat dalam identitas masyarakat Aceh.
Warna merah mewakili keberanian, putih sebagai simbol kesucian perjuangan, hitam sebagai lambang duka rakyat Aceh, sementara bulan sabit dan bintang mencerminkan aspek spiritual dan religius masyarakatnya.
Meski demikian, jalan menuju pengesahan simbol tersebut di tingkat nasional masih penuh tantangan. Pemerintah pusat dinilai belum memberikan sinyal kuat untuk merespons aspirasi tersebut secara konkret.
Namun, penyelesaian sengketa empat pulau yang baru saja terjadi telah menunjukkan bahwa dialog antara Aceh dan pusat masih berjalan baik. Malik Mahmud menyampaikan apresiasi atas langkah pemerintah yang mengakui empat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh.
“Saya sebagai Wali Nanggroe Aceh mengucapkan Alhamdulillah, syukur Alhamdulillah di atas sudah selesainya masalah polemik empat pulau yang berlaku baru-baru ini dan dengan ini saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Presiden, kepada petinggi-petinggi kita yang menyelesaikan masalahnya, termasuk juga Pak Mendagri,” ujar Malik.
Kini, masyarakat Aceh menunggu tindak lanjut dari pemerintah pusat mengenai legitimasi simbol kultural mereka. Bagi banyak pihak di Aceh, pengesahan bendera bukan sekadar formalitas administratif, tetapi cerminan penghormatan terhadap sejarah dan identitas mereka dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. []
Diyan Febriana Citra.