JAKARTA – Ketika pemerintah gencar menata birokrasi dan mereformasi sistem kepegawaian, masih ada puluhan ribu tenaga honorer yang terpinggirkan dari proses pendataan resmi. Sekitar 20.000 pegawai non-aparatur sipil negara yang tergabung dalam Aliansi Honorer Non Database BKN (R4) berencana menggelar aksi besar di depan Istana Negara, Jakarta, Senin (21/07/2025), untuk menuntut keadilan.
Para peserta aksi berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan terdiri atas lintas profesi: guru, tenaga kesehatan, anggota Satpol PP, hingga petugas pengamanan dalam (pamdal). Mereka adalah bagian dari sistem pelayanan publik yang selama ini bekerja tanpa kejelasan status, tanpa pengakuan resmi dari Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Unjuk rasa ini dirancang secara mandiri. Sekretaris Jenderal Aliansi R4, Rini Antika, menyebutkan bahwa seluruh kegiatan, mulai dari transportasi hingga logistik, dibiayai secara swadaya oleh para peserta aksi. “Peserta iuran sukarela mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 500.000,” jelasnya.
Sebelum bergerak menuju Istana, massa akan berkumpul terlebih dahulu di kawasan Masjid Istiqlal pukul 07.00 WIB. Aksi ini, menurut Rini, merupakan bentuk klimaks dari serangkaian upaya persuasif yang telah dilakukan, termasuk audiensi ke kementerian dan DPR, namun belum juga membuahkan hasil.
“Kami sudah menjadi ujung tombak pelayanan di Indonesia, tapi kami dianaktirikan di negara ini,” ujar Rini, tenaga kesehatan asal Sumenep, Madura, yang turut terlibat dalam aksi.
Aliansi R4 mengusung tiga tuntutan utama. Pertama, meminta pemerintah segera mengangkat tenaga honorer Non-Database BKN yang telah lulus seleksi PPPK 2024. Kedua, menuntut afirmasi bagi honorer yang gagal dalam seleksi CPNS, agar mendapatkan perlakuan yang setara dengan honorer yang sudah terdata. Dan ketiga, menagih komitmen pemerintah atas janji reformasi kepegawaian yang inklusif dan berkeadilan.
“Kami tidak ditopang oleh partai politik atau anggota dewan. Ini murni suara dari akar rumput,” tegas Rini.
Peserta aksi terbanyak diperkirakan berasal dari wilayah Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Mereka mewakili suara-suara yang selama ini tidak terdengar dalam hiruk-pikuk kebijakan nasional. Aksi ini menunjukkan bahwa masalah tenaga honorer bukan sekadar angka dalam database, melainkan menyangkut nasib manusia dan ketegasan negara dalam menunaikan keadilan sosial.
Dengan bergerak ke jantung pemerintahan, para honorer berharap aspirasi mereka akhirnya direspons dengan langkah konkret bukan sekadar janji di atas kertas. []
Diyan Febriana Citra.