JAKARTA – Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyoroti persoalan serius dalam upaya pemberantasan korupsi di negaranya, yakni munculnya fenomena pelaku korupsi yang justru dipersepsikan sebagai pahlawan. Menurut Anwar, hal ini terjadi akibat adanya celah dalam aturan perlindungan pelapor kejahatan atau whistleblower yang dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk menghindari jerat hukum.
Isu tersebut diungkapkan Anwar Ibrahim saat menjawab pertanyaan anggota Dewan Negara dalam sidang Parlimen Malaysia di Kuala Lumpur, Selasa (16/12/2025). Pertanyaan tersebut berkaitan dengan sejauh mana negara memberikan perlindungan terhadap pelapor kejahatan, terutama dalam kasus-kasus besar yang melibatkan tindak pidana korupsi.
Anwar menegaskan bahwa negara sejatinya telah menjamin perlindungan bagi whistleblower yang melaporkan kejahatan secara jujur dan bertanggung jawab. Namun, ia mengingatkan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam penerapan aturan tersebut di lapangan.
“Hak pelindungan terhadap whistleblower terjamin. Melindungi, maknanya bukan hanya tidak diambil tindakan terhadapnya, tetapi juga dikawal keselamatan dirinya dan keluarganya. Tapi ada kekeliruan, di negara kita sekarang perasuah (koruptor) dianggap whistleblower, dianggap pahlawan,” kata Anwar Ibrahim.
Meski tidak menyebut nama pihak tertentu, Anwar menilai praktik tersebut muncul karena adanya celah dalam Undang-Undang Pelindungan Pemberi Maklumat Tahun 2010. Celah ini, menurutnya, memungkinkan pelaku korupsi berpura-pura bekerja sama dengan aparat penegak hukum demi memperoleh status sebagai pelapor, sehingga terhindar dari hukuman yang seharusnya dijatuhkan.
“Ini masalah. Jadi misalnya dia mencuri 1 miliar ringgit, lalu dia seolah bekerja sama dengan SPRM (KPK Malaysia) dengan mengembalikan beberapa ringgit (agar dianggap whistleblower), itu bukan whistleblower, itu bandit,” tegas Anwar Ibrahim.
Anwar juga memberikan ilustrasi lain untuk menggambarkan bahaya dari penyalahgunaan konsep whistleblower. Ia menilai, logika yang sama bisa saja diterapkan dalam kasus kejahatan berat lain, seperti pembunuhan, di mana pelaku berusaha bekerja sama dengan aparat penegak hukum demi mendapatkan pembebasan dari tuntutan.
Menurut Anwar, fenomena ini diperparah oleh budaya politik yang cenderung mengagungkan pengakuan terbuka tanpa melihat konteks dan motif di balik pengakuan tersebut.
“Sekarang ini ada budaya di kalangan politisi, yang mendewa-dewakan seorang, yang umpamanya ternyata orang itu kemudian mengaku terang-benderang menyuap pimpinan politik,” kata Anwar.
Pemerintah Malaysia, lanjut Anwar, tidak ingin upaya perlindungan terhadap whistleblower justru menjadi pintu masuk bagi pelaku kejahatan untuk berlindung dari tanggung jawab hukum. Oleh karena itu, peninjauan ulang terhadap Undang-Undang Pelindungan Pemberi Maklumat Tahun 2010 dinilai mendesak untuk dilakukan.
Anwar memastikan bahwa kementerian terkait akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi tersebut. Jika ditemukan kelemahan atau celah hukum, pemerintah berkomitmen untuk mengajukan revisi undang-undang pada tahun 2026.
“Saya percaya undang-undang ini akan ditinjau awal tahun depan untuk menentukan kaidah tetap dalam membedakan whistleblower (sebenarnya) dengan bandit atau koruptor yang terlindung dengan peraturan ini. Menteri terkait akan segera menyampaikan,” kata Anwar.
Melalui langkah ini, Anwar berharap sistem hukum Malaysia dapat memberikan perlindungan maksimal kepada pelapor yang jujur, sekaligus memastikan bahwa tidak ada pelaku korupsi yang memanfaatkan aturan demi mencuci kesalahan mereka di mata hukum dan publik. []
Diyan Febriana Citra.

