PARLEMENTARIA – Rencana pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) oleh pemerintah pusat hingga 50 persen menjadi sorotan utama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim). Kebijakan ini dinilai berpotensi mempersempit ruang fiskal daerah, khususnya bagi kabupaten dan kota dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbatas.
Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ekti Imanuel, menyampaikan hal tersebut seusai rapat kerja Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang digelar di ruang E DPRD Kaltim, Selasa (02/09/2025).
Menurut Ekti, pemangkasan DBH akan lebih terasa dampaknya bagi kabupaten/kota dengan APBD kecil, sementara pemerintah provinsi masih bisa menyesuaikan. “Nilainya memang cukup besar, tetapi untuk provinsi masih bisa bernapas. Yang lebih repot justru kabupaten dan kota, seperti Mahulu, yang APBD-nya saja tidak sampai Rp2 triliun,” ujarnya.
Ekti menegaskan, pemotongan DBH berpotensi mengganggu kelancaran pemerintahan daerah. “Kalau sampai dipotong, dikhawatirkan jalannya pemerintahan bisa terganggu. Harapan kami, pemerintah pusat sebaiknya melakukan pembenahan terlebih dahulu sebelum memutuskan pemotongan, jangan langsung dipotong begitu saja,” tambahnya.
DBH selama ini menjadi salah satu sumber utama pendapatan daerah, khususnya bagi kabupaten/kota penghasil sumber daya alam. Tanpa DBH, kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan, layanan dasar, dan belanja rutin akan terancam.
Ekti menekankan, rencana pemotongan DBH juga seharusnya menjadi momentum refleksi bagi pemerintah daerah untuk mengurangi ketergantungan pada transfer pusat dan memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Sebenarnya kondisi ini juga menjadi refleksi bagi kita semua. Kalau memang pemotongan terjadi, tentu kita harus memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD),” jelasnya.
Lebih lanjut, Ekti menilai Kaltim memiliki potensi besar untuk meningkatkan PAD melalui berbagai sektor. Salah satunya adalah pajak alat berat yang digunakan dalam industri pertambangan, mengingat Kaltim merupakan penghasil sumber daya alam utama nasional.
“Banyak sektor yang bisa kita sisir, misalnya pajak alat berat, mengingat Kaltim merupakan daerah tambang terbesar. Dengan begitu, kita berharap ada persaingan yang sehat dan sportif dalam meningkatkan PAD agar daerah tetap bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya.
Meski demikian, DPRD Kaltim tetap berharap pemerintah pusat mengambil keputusan secara bijak. Kebijakan fiskal nasional sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan pusat, tetapi juga daya tahan fiskal daerah.
Dalam rapat tersebut, Banggar dan TAPD juga membahas proyeksi APBD Kaltim 2026 yang diperkirakan mencapai Rp20,3 triliun. Namun, angka ini masih bergantung pada besaran DBH yang ditetapkan pemerintah pusat. Jika pemotongan benar terjadi, APBD Kaltim diperkirakan bisa turun menjadi sekitar Rp15 triliun, yang tentunya akan menekan kemampuan pemerintah daerah membiayai program prioritas.
Bagi kabupaten/kota kecil seperti Mahakam Ulu, Berau, dan Paser, kondisi ini menjadi tantangan serius. Ketergantungan pada transfer pusat membuat daerah-daerah tersebut sangat rentan terhadap perubahan kebijakan fiskal. Tanpa DBH yang cukup, pembiayaan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar bisa terganggu.
Ekti menegaskan, DPRD Kaltim akan terus mengawal isu ini melalui komunikasi intensif dengan pemerintah provinsi dan pusat. Langkah ini dimaksudkan agar kepentingan daerah tetap terjaga dan program pembangunan tidak terganggu.
“Kami akan terus memonitor perkembangan dan melakukan koordinasi dengan provinsi maupun pusat. Tujuannya agar kabupaten/kota, terutama yang APBD-nya terbatas, tetap bisa menjalankan pemerintahan dan memenuhi kebutuhan masyarakat,” katanya.
Dengan demikian, hasil pembahasan APBD 2026 nantinya diharapkan memberikan kepastian arah pembangunan sekaligus perlindungan bagi kabupaten/kota kecil agar tetap mampu menjalankan fungsi pemerintahan secara optimal. Kejelasan pendapatan daerah menjadi kunci bagi keberlanjutan program prioritas yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat Kaltim.
Langkah-langkah strategis seperti optimalisasi PAD, pengawasan belanja daerah, dan koordinasi lintas lembaga menjadi kunci untuk menjaga stabilitas fiskal. Masyarakat pun diharapkan tetap mendapatkan layanan publik yang konsisten meski terjadi dinamika dalam alokasi DBH. []
Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna