WASHINGTON – Kebijakan visa Amerika Serikat kembali menjadi sorotan setelah pemerintahan Presiden Donald Trump menegaskan langkah pengawasan yang lebih ketat terhadap pemegang visa. Pernyataan resmi pemerintah menyebut, lebih dari 55 juta orang asing yang saat ini mengantongi visa AS dapat sewaktu-waktu menjalani peninjauan ulang.
“Proses pemantauan kami mencakup lebih dari 55 juta warga asing yang saat ini memegang visa AS yang masih berlaku,” ungkap seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, Kamis (21/08/2025).
Langkah ini memperlihatkan perubahan signifikan dalam pendekatan imigrasi di bawah Trump. Bukan hanya pemohon visa baru, tetapi juga mereka yang sudah memperoleh izin resmi kini tak lagi berada di posisi aman. Pejabat tersebut menjelaskan, pemerintah berhak mencabut visa jika ada tanda-tanda pelanggaran, mulai dari tinggal melebihi batas waktu, keterlibatan tindak kriminal, hingga aktivitas yang dianggap mengancam keamanan nasional.
“Ini mencakup hal-hal seperti tanda-tanda overstay (tinggal melebihi masa berlaku visa), aktivitas kriminal, ancaman terhadap keselamatan publik, keterlibatan dalam aktivitas teroris, atau memberikan dukungan kepada organisasi teroris,” ujarnya.
Pengawasan lebih ketat terutama diarahkan pada visa pelajar, salah satu kategori yang jumlahnya cukup besar di AS. Menurut pejabat Departemen Luar Negeri, setiap visa pelajar kini dalam proses evaluasi, termasuk dengan memeriksa rekam jejak digital para pemegangnya. Sejak beberapa tahun terakhir, unggahan media sosial menjadi bagian dari persyaratan wajib saat mengajukan visa.
Menteri Luar Negeri Marco Rubio bahkan secara terbuka menargetkan kelompok mahasiswa dan aktivis yang menyuarakan kritik terhadap Israel. Rubio memanfaatkan aturan yang jarang digunakan untuk mencabut visa individu yang dianggap berseberangan dengan kepentingan kebijakan luar negeri AS.
Departemen Luar Negeri mencatat, sejak Rubio menjabat awal tahun ini, sebanyak 6.000 visa telah dicabut. Angka itu empat kali lebih banyak dibanding periode yang sama pada masa pemerintahan Joe Biden. Mayoritas yang terdampak adalah mahasiswa asing.
Rubio berdalih bahwa pemerintah memiliki kewenangan penuh dalam urusan pemberian atau pencabutan visa, tanpa campur tangan pengadilan. Ia juga menegaskan bahwa kebebasan berbicara dalam konstitusi AS tidak berlaku bagi warga negara asing.
Meski demikian, kebijakan ini tidak berjalan mulus. Sejumlah kasus mendapat perhatian publik setelah hakim membebaskan pemegang visa yang sempat ditahan. Salah satunya adalah Mahmoud Khalil, penduduk tetap AS yang memimpin aksi pro-Palestina di Universitas Columbia. Ia dibebaskan pada Juni lalu setelah sempat menghadapi ancaman pencabutan izin tinggal.
Kasus serupa menimpa Rumeysa Ozturk, mahasiswa asal Turki di Universitas Tufts. Ia ditahan karena menulis opini di surat kabar kampus yang mengkritik Israel. Hakim kemudian membebaskannya pada Mei sambil menunggu proses hukum lanjutan.
Kejadian-kejadian tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan imigrasi AS kini berada dalam persimpangan: antara keinginan pemerintah memperketat kontrol, dan dorongan hukum yang menuntut perlindungan hak individu. Sementara itu, jutaan pemegang visa terutama pelajar menunggu dengan cemas, apakah status mereka tetap aman atau justru sewaktu-waktu terancam dicabut. []
Diyan Febriana Citra.