PUTRAJAYA – Upaya diplomasi regional kembali diuji seiring meningkatnya ketegangan di kawasan Asia Tenggara. Malaysia, sebagai Ketua ASEAN, mengambil peran aktif dalam meredam konflik yang terjadi di perbatasan Thailand dan Kamboja. Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, memastikan bahwa kedua negara tersebut telah menyepakati kehadiran dalam pertemuan khusus Menteri Luar Negeri ASEAN yang akan digelar pada Senin (22/12/2025) di Kuala Lumpur.
Pertemuan ini diproyeksikan menjadi forum strategis untuk mencegah eskalasi lanjutan di wilayah perbatasan yang selama beberapa waktu terakhir dilanda bentrokan bersenjata. Anwar menjelaskan bahwa forum tersebut sejatinya direncanakan berlangsung lebih awal, yakni pada 16 Desember 2025. Namun, jadwal itu kemudian diundur setelah mempertimbangkan dinamika politik dan keamanan di lapangan.
“Sebagian besar perdana menteri mengingatkan saya, mengatakan bahwa mungkin terlalu dini untuk mengadakan pertemuan sebelum ketegangan mereda,” ujar Anwar, dikutip dari Straits Times, Rabu (17/12/2025). Penundaan tersebut, menurutnya, dilakukan agar dialog dapat berlangsung lebih kondusif dan tidak memperkeruh situasi yang masih sensitif.
Anwar menambahkan bahwa usulan penjadwalan ulang akhirnya disepakati oleh para pemimpin kawasan. “Jadi, mereka mengusulkan agar acara itu diadakan pada 22 Desember di KL. Setahu saya, para menteri luar negeri akan datang dan membahas hal ini,” lanjutnya. Kuala Lumpur pun dipilih sebagai lokasi pertemuan karena dianggap netral dan strategis dalam memfasilitasi dialog damai.
Tujuan utama pertemuan khusus ini adalah mendorong Thailand dan Kamboja untuk menahan diri dan menghentikan peningkatan aktivitas militer di wilayah perbatasan yang disengketakan. Anwar menegaskan pentingnya langkah konkret guna melindungi warga sipil yang terdampak konflik.
“Kami mengimbau mereka untuk segera menghentikan serangan garis depan ini. Jika memungkinkan, gencatan senjata segera dilakukan,” jelas dia.
Namun demikian, Anwar mengakui adanya sensitivitas istilah yang digunakan dalam diplomasi. “Mereka tidak menyukai istilah gencatan senjata karena itu akan menyiratkan persetujuan mereka. Jadi, jika Anda melihat pernyataan saya, saya mendesak semua pihak untuk mematuhi gencatan senjata ini,” sambungnya. Pernyataan tersebut mencerminkan kehati-hatian ASEAN dalam menjaga keseimbangan antara dorongan perdamaian dan penghormatan terhadap posisi masing-masing negara.
Meski Malaysia memegang peran sentral sebagai fasilitator, Anwar menegaskan negaranya tidak dalam posisi memberi instruksi kepada para menteri luar negeri ASEAN. Ia memastikan pendekatan yang ditempuh adalah melalui komunikasi intensif dan persuasif. Dalam konteks itu, Anwar mengaku terus menjalin komunikasi harian dengan Thailand dan Kamboja guna memantau perkembangan terbaru.
Ia juga mengungkapkan bahwa keputusan menggelar pertemuan ini tidak terlepas dari konsultasi dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Selain jalur diplomasi sipil, Malaysia juga menyiapkan langkah lanjutan di bidang pertahanan. Dalam beberapa hari ke depan, Kepala Pertahanan Malaysia dijadwalkan mengunjungi wilayah perbatasan untuk melanjutkan dialog di tingkat militer.
“Saya optimis dengan hati-hati karena ketika saya berbicara dengan kedua perdana menteri, keduanya sangat ingin mencapai resolusi damai secepat mungkin,” klaim Anwar. Ia pun menaruh harapan besar pada hasil pertemuan mendatang. “Jadi, mudah-mudahan, pada tanggal 22 Desember, kita bisa menyelesaikan kesepahaman ini,” tambahnya.
Hingga saat ini, bentrokan di perbatasan Thailand dan Kamboja telah menelan sedikitnya 32 korban jiwa, baik dari kalangan militer maupun warga sipil. Selain itu, sekitar 800.000 orang terpaksa mengungsi akibat memburuknya situasi keamanan. ASEAN pun dihadapkan pada tantangan besar untuk membuktikan efektivitas diplomasi regional dalam menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan. []
Diyan Febriana Citra.

