JAKARTA – Upaya pemerintah memperkuat perlindungan anak di ruang digital memasuki tahap baru setelah Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, menegaskan bahwa pembatasan usia untuk pembuatan akun media sosial akan segera diterapkan. Ketentuan tersebut menjadi bagian dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 atau PP Tunas, regulasi yang disahkan Presiden pada Maret 2025 sebagai payung hukum pelindungan anak dalam penggunaan layanan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).
Meutya menjelaskan bahwa aturan ini tidak hanya mengatur usia minimal anak saat membuat akun, tetapi juga mengubah cara pemerintah memandang platform digital melalui sistem klasifikasi risiko. Dalam acara Deklarasi Arah Indonesia Digital di Sopo Del Tower, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (10/12/2025), ia memaparkan konsep tersebut secara gamblang. “Ketika masuk ke risiko tinggi, maka untuk membuat akun, anak harus berusia 16 tahun minimal,” ujarnya.
Dengan adanya pembagian tingkat risiko, setiap platform digital akan dipetakan berdasarkan potensi paparan ancaman, seperti konten berbahaya, interaksi terbuka dengan pengguna dewasa, serta kemungkinan terjadinya penyalahgunaan data pribadi. Pada kategori risiko tinggi, anak berusia 16 hingga 18 tahun tetap wajib didampingi orang tua, sedangkan pengguna dewasa berusia di atas 18 tahun dapat mengakses secara mandiri.
Sementara itu, platform yang masuk kategori risiko rendah diperbolehkan menerima pengguna berusia 13 tahun, asalkan ada persetujuan dan pengawasan dari orang tua. “Anak-anak dapat masuk di usia 13 tahun, dengan pendampingan orang tua juga,” jelas Meutya.
Pemerintah kini tengah menyiapkan dasar implementasi aturan tersebut. Meutya menargetkan PP Tunas dapat berlaku penuh pada Maret 2026. Sejumlah langkah awal sudah dimulai, termasuk uji petik di Yogyakarta yang melibatkan anak-anak sebagai partisipan utama. Dalam pengujian tersebut, peserta diminta melakukan simulasi penggunaan platform besar sehingga pemerintah dapat menilai pengalaman mereka dan mengidentifikasi risiko yang muncul.
“Mereka kita berikan waktu untuk masuk ke PSE, PSE besar terutama, lalu mereka akan memberikan feedback. Dari situ, kita akan menilai profil risiko,” tutur Meutya. Ia menambahkan bahwa proses penilaian risiko tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga organisasi pemerhati anak, NGO, hingga para peserta anak sendiri. “Anak-anaknya harus didengar karena aturan ini juga mengenai mereka,” kata politikus Golkar itu.
Langkah Indonesia ini sejalan dengan tren global. Banyak negara kini menerapkan sistem verifikasi usia dan mewajibkan izin orang tua sebelum anak dapat mengakses platform media sosial. Kebijakan tersebut didorong kekhawatiran yang semakin meluas mengenai dampak negatif penggunaan media digital pada anak dan remaja. Riset internasional menunjukkan bahwa paparan berlebihan terhadap media sosial berpotensi meningkatkan gangguan kecemasan, depresi, masalah tidur, hingga risiko cyberbullying dan konsumsi konten berbahaya.
Dengan hadirnya PP Tunas, pemerintah berharap ruang digital di Indonesia menjadi lingkungan yang lebih aman bagi generasi muda, sekaligus menegaskan komitmen negara dalam membangun tata kelola digital yang bertanggung jawab. []
Diyan Febriana Citra.

