JAKARTA – Industri perhotelan tengah menghadapi tantangan unik terkait perilaku tamu di area publik hotel. Upaya untuk menciptakan suasana nyaman layaknya rumah sendiri rupanya tidak selalu berjalan mulus. Beberapa kebiasaan tamu dinilai melampaui batas kesopanan dan mengganggu kenyamanan tamu lainnya.
Mengutip laporan dari CNBC International, sejumlah hotel melaporkan bahwa kebiasaan seperti mengenakan piyama saat sarapan, berjalan tanpa alas kaki di lobi, hingga menggunakan jubah mandi di area umum kini semakin lazim ditemui. Meskipun niat hotel adalah menciptakan suasana santai, perilaku ini ternyata menuai respons negatif.
Survei yang dilakukan oleh Hotels.com dan dipublikasikan oleh Expedia pada Maret lalu menunjukkan bahwa 94% responden menganggap berjalan tanpa alas kaki di area umum sebagai perilaku paling tidak pantas. Disusul mengenakan jubah mandi di lobi (92%) dan menunjukkan kemesraan di kolam renang (86%).
Merespons kondisi ini, sejumlah hotel memilih pendekatan persuasif dibanding sanksi langsung. Reem Arbid, salah satu pendiri The Blue Door Kitchen & Inn, mengatakan bahwa sikap staf yang hormat dan bijaksana dapat menjadi contoh yang diikuti oleh tamu.
“Saya yakin pelanggan akan mengikuti contoh jika Anda dan staf Anda bersikap hormat [dan] bijaksana,” ujarnya, dikutip Sabtu (28/6).
Pendekatan serupa juga diambil dalam menghadapi tamu yang berbicara keras saat menggunakan telepon atau mengenakan pakaian yang tidak layak. Daripada menegur langsung, staf biasanya memberi isyarat halus terkait etiket.
Di hotel kelas atas seperti La Coralina Island House di Panama, kehadiran tamu dengan piyama atau tanpa alas kaki di ruang bersama dianggap tidak sopan. “Di tempat peristirahatan kelas atas, muncul dengan piyama atau bertelanjang kaki di sekitar ruang bersama bisa dianggap tidak sopan,” ujar Ariel Barrionuevo, direktur pelaksana hotel tersebut.
Beberapa hotel mencoba menanggulangi isu ini melalui email panduan etiket sebelum kedatangan atau pengarahan saat proses check-in. Namun, tidak semua tamu memahami bahwa kebiasaan mereka bisa mengganggu.
Aidan O’Sullivan, Manajer Umum Kilkea Castle di Irlandia, menegaskan pentingnya berpakaian pantas di area publik. Di kastil tersebut, pengunjung diwajibkan mengenakan kemeja dan sepatu di semua restoran, serta dilarang memakai pakaian olahraga atau baju tanpa kerah di lapangan golf.
Namun demikian, tidak semua pelaku industri sepakat dengan pendekatan konservatif. Sam Jagger, Direktur Pelaksana The Maybourne Beverly Hills, mengatakan bahwa hotelnya memilih pendekatan yang lebih inklusif.
“Entah itu piyama saat sarapan, anak anjing di tempat tidur, atau anak-anak yang menikmati kolam renang – kami menyambut baik semuanya,” ujarnya. Fokus utamanya adalah menjaga privasi dan keselamatan tamu.
Mary D’Argenis-Fernandez dari MDA Hospitality Solutions menilai bahwa etika berpakaian kini bukan lagi persoalan utama. Menurutnya, kemarahan tamu terhadap staf atau sesama pengunjung menjadi isu yang lebih krusial di industri perhotelan.
“Situasi-situasi seperti inilah, yang terkadang tidak beralasan, yang lebih memprihatinkan bagi mereka yang bekerja di industri ini,” ungkapnya.
Masalah lain yang turut disoroti adalah kebiasaan tamu memonopoli kursi kolam renang. Sekitar 60% responden survei menyatakan tidak menyukai perilaku ini. Beberapa hotel pun mulai menerapkan kebijakan ketat, seperti hanya memperbolehkan pemesanan satu kursi tambahan per orang, atau mengalokasikan kursi berjemur saat check-in.
Dengan meningkatnya ekspektasi tamu dan beragamnya nilai budaya, hotel dituntut menyeimbangkan antara keramahan, kenyamanan, dan batas etika. Pendekatan yang bijak dan komunikatif dinilai menjadi solusi terbaik untuk menghadapi dilema ini.[]
Putri Aulia Maharani