JAKARTA — Kebijakan tarif yang diberlakukan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mulai memperlihatkan dampaknya terhadap ekonomi Tiongkok. Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu kini menghadapi ancaman deflasi yang semakin dalam akibat perubahan aliran ekspor yang signifikan.
Barang-barang yang semestinya ditujukan untuk pasar Amerika kini harus dialihkan ke dalam negeri, seiring dengan meningkatnya hambatan dagang yang diberlakukan oleh Negeri Paman Sam. Langkah tersebut menyebabkan lonjakan pasokan barang di pasar domestik, menekan harga, dan memicu persaingan harga yang semakin tajam di antara pelaku usaha lokal.
Pemerintah daerah di Tiongkok bersama sejumlah perusahaan besar mulai menunjukkan respons terhadap kondisi tersebut. Mereka berupaya mendukung para eksportir dengan memfasilitasi pemasaran produk mereka kepada konsumen dalam negeri. Raksasa teknologi seperti JD.com, Tencent, dan Douyin—versi Tiongkok dari TikTok—turut ambil bagian dalam mempromosikan barang-barang tersebut agar tetap dapat terserap oleh pasar domestik.
Wakil Menteri Perdagangan Tiongkok, Sheng Qiuping, menyatakan bahwa pasar domestik yang luas dapat menjadi penyangga dalam menghadapi tekanan eksternal. Ia pun mendorong otoritas lokal untuk mengambil peran lebih besar dalam menstabilkan ekspor dan meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat.
Namun, para ekonom menilai kondisi ini turut menimbulkan konsekuensi lain. “Efek samping yang mulai terasa adalah terjadinya perang harga yang intensif antarperusahaan,” ungkap Yingke Zhou, ekonom senior dari Barclays, dalam wawancaranya dengan CNBC Internasional. Menurutnya, membanjirnya produk murah yang sebelumnya ditujukan ke pasar AS dapat mengikis margin keuntungan perusahaan. Hal ini, lanjutnya, dapat berimbas pada lapangan kerja dan menciptakan ketidakpastian terhadap pendapatan masyarakat, yang akhirnya berdampak negatif terhadap daya beli.
Indeks harga konsumen (CPI) Tiongkok menunjukkan penurunan selama dua bulan berturut-turut pada Februari dan Maret, setelah sebelumnya sempat stabil pada 2023 dan 2024. Sementara itu, indeks harga produsen (PPI) mencatat penurunan selama 29 bulan berturut-turut, dengan penurunan tajam sebesar 2,5 persen pada Maret dibanding tahun sebelumnya.
Tim ekonom dari Morgan Stanley memproyeksikan bahwa PPI akan menyusut lebih dalam menjadi 2,8 persen pada April. Sementara itu, Kepala Ekonom Tiongkok di Goldman Sachs, Shan Hui, memperkirakan CPI akan stagnan di angka 0 persen sepanjang 2025, turun dari pertumbuhan tahunan sebesar 0,2 persen tahun sebelumnya. Adapun PPI diperkirakan turun 1,6 persen dari penurunan 2,2 persen pada 2024.
“Penurunan harga diperlukan agar produk-produk tersebut dapat diterima oleh konsumen dalam negeri maupun global,” ujar Shan Hui. Ia menambahkan, kapasitas manufaktur yang besar kemungkinan tidak dapat segera menyesuaikan diri terhadap lonjakan tarif, yang pada akhirnya memperburuk kelebihan kapasitas di berbagai sektor industri.
Situasi ini menempatkan Tiongkok dalam posisi yang penuh tantangan, dengan kombinasi tekanan eksternal dan internal yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi secara menyeluruh. Pemerintah pun dituntut untuk menjaga keseimbangan antara menstabilkan ekspor dan merangsang konsumsi domestik demi menghindari spiral deflasi yang lebih dalam.[]
Putri Aulia Maharani