WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memunculkan perdebatan di panggung internasional setelah melayangkan ultimatum kepada anggota NATO terkait sikap terhadap Rusia. Dalam sebuah surat resmi yang disampaikan Sabtu (13/09/2025), Trump menegaskan bahwa Washington hanya akan menjatuhkan sanksi besar terhadap Moskwa bila seluruh negara anggota aliansi berhenti membeli minyak dari Rusia.
Ultimatum ini memperlihatkan strategi Trump yang berusaha menyeret NATO ke dalam langkah kolektif melawan Moskwa, sekaligus menekan sekutu agar tidak bersikap setengah hati.
“Saya siap menerapkan sanksi berat terhadap Rusia ketika semua negara NATO telah sepakat, dan mulai untuk melakukan hal yang sama, dan ketika semua negara NATO berhenti membeli minyak dari Rusia,” tulis Trump dalam pernyataannya di media sosial, seraya mengutip surat yang dikirimkan kepada rekan-rekannya di NATO.
Trump juga menyoroti sikap sebagian negara Eropa yang masih mengimpor energi Rusia meski sanksi sudah diberlakukan. “Komitmen NATO untuk menang jauh di bawah 100%, dan pembelian minyak Rusia, oleh beberapa pihak, sangat mengejutkan! Hal itu sangat melemahkan posisi negosiasi dan daya tawar Anda terhadap Rusia. Bagaimanapun, saya siap untuk ‘pergi’ ketika Anda siap. Katakan saja kapan?” tegasnya.
Tidak hanya Rusia, Trump turut menyinggung China. Ia mendorong NATO untuk bersama-sama mengenakan tarif besar, hingga 100 persen, terhadap Negeri Tirai Bambu. Menurutnya, langkah itu akan semakin menekan Rusia karena hubungan Moskwa dan Beijing dianggap saling menguatkan.
“Saya yakin ini, ditambah NATO sebagai kelompok, yang mengenakan tarif 50% hingga 100% pada China, yang akan ditarik sepenuhnya setelah perang dengan Rusia dan Ukraina berakhir, juga akan sangat membantu,” ucapnya.
Meski begitu, usulan Trump menimbulkan tanda tanya di kalangan sekutu. Uni Eropa, misalnya, masih menempuh jalur negosiasi dagang dengan India dan lebih berhati-hati terhadap potensi perang tarif dengan China. Beberapa pejabat Eropa menyebut permintaan Washington sulit direalisasikan dalam waktu dekat karena perbedaan strategi dan kepentingan nasional antaranggota.
Data Eurostat menunjukkan bahwa impor minyak Uni Eropa dari Rusia turun tajam sejak 2021, dari lebih USD16 miliar menjadi sekitar USD1,7 miliar pada kuartal pertama 2025. Namun, penurunan tersebut tidak sepenuhnya menghapus ketergantungan energi, apalagi Turki yang juga anggota NATO masih menjadi salah satu pembeli terbesar minyak Rusia setelah China dan India.
Trump sebelumnya bahkan telah menaikkan tarif terhadap India hingga 50 persen sebagai bentuk tekanan karena negara itu terus membeli energi dari Moskwa. Kebijakan ini menuai protes keras dari New Delhi, yang menilai langkah AS tidak adil karena negara lain pun melakukan transaksi serupa.
Situasi geopolitik kian rumit setelah momentum pertemuan Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada Agustus lalu tak menghasilkan kemajuan berarti. Ultimatum terbaru Trump dinilai bisa memperpanjang konflik, sementara Rusia masih menunjukkan resistensi terhadap upaya de-eskalasi.
Dengan waktu yang semakin berpihak kepada Moskwa di medan perang, langkah Trump menekan NATO justru membuka babak baru dalam dinamika aliansi Barat. []
Diyan Febriana Citra.