JAKARTA – Di tengah cepatnya evolusi teknologi dan maraknya konten digital di berbagai platform, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi I terus menggulirkan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Proses ini menjadi bagian utama dari kegiatan legislatif selama Masa Persidangan IV tahun sidang 2024–2025 yang berlangsung dari 24 Juni hingga 24 Juli 2025.
Isu ini muncul sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk menciptakan regulasi yang mampu menjangkau ekosistem penyiaran multiplatform, termasuk layanan over-the-top (OTT) seperti YouTube, TikTok, Netflix, Apple TV, hingga media sosial yang memuat konten audio visual secara masif.
Komisi I DPR menggelar serangkaian rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pelaku industri media, konten kreator, akademisi, hingga lembaga penyiaran untuk menggali masukan publik. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya menciptakan kebijakan yang inklusif dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Salah satu isu yang menjadi sorotan dalam draf RUU adalah peran dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), termasuk bagaimana pengawasan dapat diperluas ke ranah digital yang selama ini kurang terjangkau regulasi.
Anggota Komisi I DPR, Andina Thresia Narang, menyuarakan pentingnya pembaruan aturan ini agar sesuai dengan dinamika konten digital yang sangat bebas.
“Urgensi revisi ini sangat penting di zaman sekarang. Generasi muda kini hidup dalam arus konten digital yang tidak memiliki batasan seperti televisi konvensional. Kalau di TV ada KPI dan pengawasan, di live streaming orang bisa merokok, berbicara kasar, atau tampil seronok tanpa filter,” ujar Andina dalam RDPU bertema “Penyiaran Multiplatform dan Equal Playing Field di Bidang Penyiaran.”
Namun, proses revisi ini juga menuai kekhawatiran dari sejumlah pihak. Dewan Pers dan LBH Pers menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal yang dinilai berpotensi mengancam kebebasan pers, khususnya klausul yang memberi kewenangan KPI menyelesaikan sengketa jurnalistik dan pelarangan jurnalisme investigatif. Mereka menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Komisi I merespons dengan menyatakan bahwa pembahasan RUU Penyiaran dilakukan secara bertahap dan tidak terburu-buru. Selain diskusi legislatif di Senayan, kunjungan kerja ke sejumlah daerah seperti Medan turut digelar untuk menyerap aspirasi masyarakat dan pemangku kepentingan lokal.
Rapat paripurna yang digelar pada 24 Juli 2025 secara resmi menutup Masa Persidangan IV. Meski demikian, pembahasan revisi UU Penyiaran akan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya, dengan target penyelesaian di tahun legislasi berjalan. Masa reses DPR dijadwalkan berlangsung dari 24 Juli hingga 14 Agustus 2025.
Dinamika ini menunjukkan bahwa proses reformasi regulasi penyiaran bukan hanya soal pengawasan konten, tetapi juga soal menjaga keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan kebebasan berekspresi di era digital. []
Diyan Febriana Citra.