PARLEMENTARIA – Pembangunan Kalimantan Timur (Kaltim) yang sedang bergerak menuju daerah penopang Ibu Kota Nusantara (IKN) ternyata masih menyimpan persoalan mendasar. Hasil reses masa sidang kedua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim tahun 2025 menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat tidak jauh dari tiga kebutuhan pokok: perbaikan infrastruktur, kepastian program pendidikan, dan pemerataan layanan kesehatan.
Hal itu disampaikan oleh Apansyah, anggota Komisi III DPRD Kaltim dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), ketika membacakan laporan reses di Rapat Paripurna DPRD Kaltim pada Senin, (04/08/2025). Menurutnya, tiga bidang tersebut mendominasi suara masyarakat di enam daerah pemilihan se-Kaltim. “Jalan poros, jembatan, hingga drainase masih banyak dikeluhkan masyarakat. Mereka ingin agar akses jalan diperbaiki dan banjir bisa teratasi,” ujarnya.
Dari catatan reses, perbaikan infrastruktur lingkungan menempati prioritas tertinggi. Masyarakat meminta pembangunan jalan desa, semenisasi, hingga perbaikan gorong-gorong dan saluran drainase. Wilayah pesisir juga menyoroti ancaman abrasi pantai. Usulan pembangunan pemecah ombak di Pulau Derawan dan Maratua dianggap mendesak untuk menyelamatkan kawasan wisata dan pemukiman.
Masalah kelistrikan masih muncul di sejumlah daerah. Apansyah menyebut, tidak sedikit desa yang belum menikmati aliran listrik PLN. “Warga berharap penerangan jalan dan jaringan listrik segera ditingkatkan, baik melalui saluran PLN maupun alternatif seperti solar cell,” katanya.
Selain itu, pasokan air bersih menjadi persoalan klasik. Meski kapasitas produksi PDAM Kaltim mencapai 1.460 liter per detik dari total terpasang 1.510 liter per detik, distribusi dinilai belum merata. “Ada banyak masyarakat yang masih menunggu sambungan air bersih. Bahkan yang sudah terpasang pun sering mengeluhkan kualitas air yang keruh,” ungkapnya.
Reses juga menyingkap keraguan publik soal program pendidikan gratis yang dicanangkan pemerintah provinsi. Menurut Apansyah, banyak warga yang menanyakan detail kebijakan tersebut. “Warga bertanya, apakah semua komponen biaya benar-benar ditanggung, dan kapan program ini mulai berjalan. Itu perlu segera dijelaskan secara terbuka,” tuturnya.
Selain soal kebijakan, fasilitas sekolah masih jadi sorotan. Usulan pembangunan sekolah baru, renovasi ruang kelas, serta pemerataan guru di daerah pedalaman terus bermunculan. Beberapa sekolah bahkan menuntut percepatan pembangunan, seperti SMK Negeri 7 Balikpapan, serta peningkatan fasilitas asrama dan sarana olahraga di SMK Negeri 10 Samarinda.
Masalah lama terkait praktik jual beli buku di sekolah kembali disuarakan orang tua murid. Masyarakat berharap Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim dapat menertibkan sekaligus memperbaiki sistem pengadaan buku agar tidak membebani siswa.
Bidang kesehatan, yang sebenarnya sudah mendapat perhatian besar dari pemerintah, ternyata masih meninggalkan catatan. Akses layanan BPJS Kesehatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah menjadi sorotan utama. “Banyak warga yang mengaku tidak mampu membayar iuran bulanan, sementara layanan kesehatan tetap mereka butuhkan,” jelas Apansyah.
Keluhan terbanyak datang dari peserta BPJS mandiri kelas 3 yang sering menghadapi keterbatasan pelayanan. Di sisi lain, masyarakat pedesaan meminta agar fasilitas kesehatan dasar, terutama posyandu, lebih diperkuat. Aspirasi terkait pemberian makanan tambahan bagi balita dan lansia disebut cukup tinggi, namun belum diimbangi dengan ketersediaan sarana yang memadai.
Fraksi Golkar menegaskan bahwa aspirasi yang terkumpul tidak boleh berhenti di meja laporan. Seluruh masukan masyarakat itu akan dimasukkan ke dalam pokok-pokok pikiran DPRD yang kemudian disalurkan ke Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). “Kami tidak ingin suara masyarakat berhenti di kertas laporan. Harus ada tindak lanjut nyata yang bisa dirasakan,” pungkas Apansyah.
Dengan masih dominannya persoalan dasar seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, DPRD Kaltim berharap pemerintah provinsi mampu menyusun prioritas pembangunan yang lebih menyentuh kebutuhan warga sehari-hari. Aspirasi ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kemajuan daerah tidak hanya diukur dari megaproyek, tetapi juga dari seberapa nyata kesejahteraan dapat dirasakan masyarakat di desa, pesisir, hingga perkotaan. []
Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna