DPRD Kaltim Desak BGN Revisi Skema Pembiayaan SPPG

DPRD Kaltim Desak BGN Revisi Skema Pembiayaan SPPG

PARLEMENTARIA – Program pembangunan 350 unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) oleh Badan Gizi Nasional (BGN) di Kalimantan Timur (Kaltim) digadang-gadang menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Namun, rencana ambisius ini dipandang belum sepenuhnya siap dari sisi perencanaan teknis maupun dukungan anggaran.

Sekretaris Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim, Muhammad Darlis Pattalongi, menilai program ini baru sebatas konsep besar yang belum mempertimbangkan dinamika lapangan, terutama terkait keterlibatan sektor swasta. Menurutnya, kehadiran investor atau pelaku usaha sangat penting untuk memperkuat keberlanjutan program, namun hambatan regulasi dan minimnya insentif membuat mereka cenderung ragu untuk berpartisipasi.

“Secara konsep, rencana ini tentu sangat positif. Namun, jika tidak ada daya tarik investasi yang memadai, khususnya dari sisi insentif, sulit bagi pelaku usaha untuk turut ambil bagian,” katanya, Sabtu (09/08/2025).

Darlis menjelaskan, pelaku usaha memiliki perhitungan ekonomi yang sangat detail sebelum memutuskan terjun ke program sosial semacam ini. Dengan keterbatasan anggaran saat ini, pembangunan dapur penyedia layanan gizi gratis yang memenuhi standar teknis sulit terwujud.
“Perhitungan ekonomi mereka sangat detail, dan dana yang dianggarkan saat ini belum mencukupi untuk membangun dapur penyedia layanan gizi gratis dengan standar yang dibutuhkan,” jelasnya.

Ia menambahkan, pembiayaan per porsi yang ditetapkan BGN juga dinilai terlalu ketat. Skema Rp15 ribu per porsi Rp10 ribu untuk bahan pangan dan Rp5 ribu biaya operasional dipandang tidak realistis bagi swasta yang berorientasi efisiensi. “Dengan pembiayaan per porsi hanya Rp15 ribu dimana Rp10 ribu untuk bahan pangan dan Rp5 ribu biaya operasional akan sangat sulit jika desain teknisnya tetap kaku. Kondisi ini membuat sektor swasta enggan terlibat karena margin keuntungannya sangat tipis,” ujarnya.

Lebih jauh, Darlis menekankan, beban berat justru ada pada pembangunan SPPG di daerah terpencil. Selain akses jalan yang terbatas, biaya distribusi logistik pangan dan kebutuhan sarana pendukung lainnya akan membengkak. “Kawasan perkotaan kemungkinan masih bisa berjalan. Namun, jika dibangun di daerah terpencil, dibutuhkan tambahan fasilitas pendukung dan biaya distribusi yang besar. Anggaran yang tersedia saat ini jelas belum mencakup kebutuhan tersebut,” katanya.

Hal ini, menurutnya, bisa menimbulkan ketimpangan antara daerah urban dan rural jika tidak diantisipasi sejak awal. SPPG di kota mungkin dapat berjalan sesuai target, sementara di pedalaman justru terbengkalai.

Meski tantangan cukup besar, Darlis menilai masih ada peluang jika BGN bersedia merevisi pola pembiayaan dan desain teknis. Menurutnya, pendekatan modular yang menyesuaikan konteks wilayah akan lebih realistis diterapkan daripada standar baku yang seragam. “Standar pembangunan seharusnya dibuat modular dan disesuaikan dengan konteks wilayah masing-masing. Dengan regulasi yang lebih fleksibel dan skema pendanaan yang disesuaikan, saya optimistis akan lebih banyak pihak swasta yang bersedia turut berpartisipasi,” pungkasnya.

Darlis juga mengingatkan bahwa sebagian pelaku usaha sebenarnya menyambut baik inisiatif pemerintah dalam bidang gizi ini. Hanya saja, kepastian regulasi, fleksibilitas teknis, serta pembiayaan yang rasional menjadi kunci untuk memastikan kolaborasi tersebut berjalan.

Program SPPG sejatinya merupakan upaya idealis pemerintah pusat untuk memperkuat ketahanan gizi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan. Namun, keberhasilan implementasinya di Kaltim akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh pemerintah mampu menjembatani idealisme dengan realitas lapangan.

Tanpa insentif yang jelas bagi swasta, ditambah keterbatasan anggaran, dikhawatirkan program ini hanya akan berjalan setengah hati. Sebaliknya, jika strategi disusun lebih adaptif misalnya dengan skema investasi sosial bersama swasta atau pendanaan hybrid SPPG berpotensi menjadi model layanan gizi yang berkelanjutan di daerah.

Kini, publik menunggu langkah BGN untuk menindaklanjuti masukan DPRD. Apakah akan tetap berpegang pada desain awal, atau berani melakukan penyesuaian agar program ini benar-benar bisa memberi manfaat nyata bagi masyarakat Kaltim, baik di kota maupun di pelosok pedalaman. []

Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna

Advertorial DPRD Kaltim