PARLEMENTARIA – Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Agusriansyah Ridwan, menegaskan bahwa pengelolaan tenaga kerja seharusnya berada dalam koridor kewenangan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Pernyataan ini ia sampaikan saat ditemui di DPRD Kaltim pada Jumat (21/11/2025) malam.
“Kadang-kadang, harusnya kan Disnaker dalam hal ini,” ujarnya.
Agusriansyah menjelaskan bahwa keberadaan lembaga penyedia tenaga kerja atau labour supply di masyarakat diperbolehkan selama berbadan resmi dan memiliki kerja sama yang jelas dengan Disnaker serta perusahaan terkait.
“Boleh di masyarakat itu ada, tapi kan labour supply yang resmi, yang bekerja sama dengan Disnaker dalam lini atau melakukan kerja sama dengan perusahaan,” jelasnya.
Ia menuturkan bahwa Peraturan Daerah tentang Ketenagakerjaan mengatur fleksibilitas pengelolaan Balai Latihan Kerja (BLK), baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun pihak swasta.
“Di Perda Ketenagakerjaan kita kan memang BLK itu bisa saja dilakukan oleh pemerintah secara mandiri, bisa dilakukan oleh perusahaan, dan bisa dilakukan oleh pihak swasta, tapi harus memenuhi unsur-unsur legal standing-nya,” ujarnya.
Agusriansyah menekankan bahwa keberadaan BLK atau lembaga penyedia tenaga kerja bukan masalah selama mekanisme kerja sama dibuat resmi sesuai regulasi.
“Jadi pada prinsipnya itu tidak jadi persoalan sebenarnya, yang penting rumusan kerjasamanya, MOU-nya itu betul-betul sesuai dengan aturan yang berlaku,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa seluruh aktivitas tenaga kerja harus tercatat dan terkoordinasi dengan baik oleh semua pihak yang berkaitan.
“Itu harus tetap tercatat, terkoordinasi antara Disnaker, perusahaan, dan labour supply yang ada,” tuturnya.
Agusriansyah menanggapi persepsi masyarakat yang beranggapan bahwa perekrutan tenaga kerja sebaiknya dikelola oleh perangkat desa atau kecamatan. Menurutnya, hal itu justru menyulitkan.
“Kalau misalkan ada juga yang bilang kenapa nggak harus oleh pemerintah desa atau oleh kecamatan malah repot,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa rekomendasi dari pemerintah desa tetap diperbolehkan, tetapi lembaga penyedia tenaga kerja profesional tetap menjadi pilihan terbaik.
“Kalau rekomendasi sih boleh, tetapi sebenarnya yang lebih profesional itu memang harusnya labour supply, yang memang labour supply itu dianggap ada melakukan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di situ,” jelasnya.
Agusriansyah menekankan pentingnya labor supply yang memiliki fasilitas BLK sendiri agar dapat menyediakan tenaga kerja siap pakai.
“Sehingga kalau dia mendistribusikan tidak sifatnya hanya medeliver, tidak hanya menerima pendaftaran teruslah kirim, artinya itu juga akan bisa menimbulkan persoalan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa idealnya perusahaan bekerja sama dengan lembaga yang memiliki sarana dan prasarana memadai.
“Lebih bagus, labour supply yang memang memiliki BLK sendiri, perusahaan juga tentunya harusnya bisa bekerja sama yang siap secara sarana dan prasarana,” jelasnya.
Terakhir, Agusriansyah mengingatkan bahwa lembaga penyedia tenaga kerja yang hanya berperan sebagai perantara tanpa pelatihan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah desa maupun instansi lain.
“Kalau sifatnya dia hanya sebagai perantara, tidak memberikan pelatihan dan apa dan sebagainya, memang tumpang tindih nanti kemungkinan dengan peluang pemerintah desa yang ada, itu persoalannya, itu yang harus di-clearkan,” tutupnya. []
Penulis: Yus Rizal Zulfikar | Penyunting: Agnes Wiguna

